Penegak Kebenaran

Melatih diri untuk terus menuntut ilmu dan memberikan informasi yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan dengan harapan akan menjadi Penegak Kebenaran yang diridloi Allah SWT.

Pengusung Peradaban

Menjadikan madrasah, pesantren, dan tempat pendidikan lainnya sebagai tempat thalabul ilmi agar terbentuk generasi muda yang kuat, cerdas, dan taqkwa sehingga suatu saat dapat menjadi mujahid masa depan dan menjadi Pengusung Peradaban yang bermoral dan berakhlaq Islami.

Penerang Kegelapan

Bekerja keras untuk selalu mengamalkan dan mengimplementasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan lain sebagai salah satu kewajiban muslim dengan harapan dapat menjadi Penerang Kegelapan. Berbagi informasi dalam kebaikan dan takwa serta saling menasihati dalam kebenaran

Memperkuat Aqidah

Melatih generasi muda sedini mungkin melalui berbagai media pendidikan exact dan non-exact sebagai bekal hidup di masa depan untuk mewujudkan penjuang masa depan yang mandiri, kuat, disiplin, dan amanah.

Disiplin

Menyalurkan bakat dan mengembkangkan kemampuan generasi muda melalui berbagai kegiatan positif dengan harapan dapat tertanam sikap persaudaraan, persahabatan, dan disiplin.

Search

Metodologi Tafsir Ibnu Jarir

A. Pendahuluan
Fazlur Rahman mengatakan : “Al-Qur’an ibarat puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilanpersepuluh darinya terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak di permukaan”.[1] Sungguh, tidak akan ada yang mampu mengenalnya, kecuali mereka yang tenggelam di dalamnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa studi tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.

Menurut Abdul Mustaqim,[2] Munculnya berbagai macam corak dan karakteristik penafsiran yang kemudian disebut dengan istilah madzahibut tafsir disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk penafsirannya. Statemen ini agaknya semakin menguatkan tesa Micheil Fucoult bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu tafsir tidak bisa dipisahkan dari adanya relasi kekuasaan (baca: politik). Selain itu, perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Faktor-faktor tersebut dikategorikan oleh penulis sebagai faktor ekternal atau al-‘awamil ad-dakhiliyyah. Sedangkan secara internal munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding, mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral.

Di antara ulama tafsir yang turut memperkaya turats Islam adalah Ibnu Jarir al-Tabary. Ibn Jarir al-Tabari (839-923 M/224-310 H) dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, lugah, tarikh termasuk tafsir al-Qur’an. Dua karya besarnya, Tarikh al-Umam wa al-Mulk – yang berbicara tentang sejarah - dan Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menjadi rujukan utama (prominent reference), sehingga berhasil mendongkrak popularitasnya ke panggung dunia di tengah-tengah “masyarakat membaca”, ia merupakan sebuah ensiklopedi komentar dan pendapat tafsir yang pernah ada sampai masa hidupnya hingga beberapa generasi telah menyambut baik dan antusias terhadapnya. Dengan corak tafsir bi al-ma’sur yang dikembangkan oleh al-Tabari telah mengilhami dan menyemangati para mufassir generasi berikutnya, seperti Ibn Kasir yang telah melakukan elaborasi dan kolaborasi terhadap tafsir al-Tabari.

Oleh karena itu, kitab ini menjadi sumber yang tak terhindarkan bagi tafsir tradisional, yang tersusun dari hadis-hadis yang diteruskan dari otoritas-otoritas awal. Meskipun ilmuwan sekaliber M. Arkoun masih melihat bahwa tafsir besar yang ditulis al-Tabari belum menjadi subyek studi ilmiah yang mementingkan posisinya dalam sejarah tafsir.[3] Itulah sebabnya tulisan berikut ini ingin menyajikan sosok al-Tabari dengan segala kelebihan dan kekurangan melalui karya monumentalnya –Jami’ al-Bayan– dengan menilik aspek metodologis dan karakteristik dalam konstelasi penafsiran al-Qur’an. Sehingga upaya untuk mengenalkan lebih dekat terhadap tafsir al-Qur’an klasik dapat memberikan deskirpsi karya-karya tafsir mulai sejak awal kemunculannya hingga masa kini akan dapat dilihat perkembangan hirarki kesejarahannya.

B. Setting Biografis al-Tabari[4]
1. Potret Kehidupan Awal
Nama lengkap Ibnu Jarir adalah Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Khalib al-Tabary al-Amuli.[5] Nama ini disepakati oleh al-Khatib al-Bagdadi[6] (392-463/1002-1072), Ibn Katsir dan al-Zahabi. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran.[7] sehingga nama paling belakangnya sering disebutkan al-Amuli­ penisbatan tanah kelahirannya. la dilahirkan 223 H (838-839 M),[8] sumber lain menyebutkan akhir 224 H[9] atau awal 225 H (839-840),[10],[11]dan meninggal 311/923, sementara dari sumber informasi lain disebutkan pada 310.[12]

2. Situasi Sosio-Historis
Al-Tabari, secara kultural-akademik termasuk `makhluk yang beruntung', jika dilihat setting-sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu­-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV H. Keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun intelektual terhadap perkembangan keilmuannya.
Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al­-Tabari dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.

3. Posisi Intelektualnya
Ibn Jarir telah berkunjung ke berbagai kawasan untuk menun­tut ilmu dari sumber-sumbernya, dari pangkal dan cabangnya, sehingga menjadi ilmuwan tiada duanya pada masanya, baik dari segi ilmu, amal, hafalan terhadap Kitabullah, pengetahuan tentang makna-maknanya, nasikh mansukh-nya, sebab nuzulnya, di samping paham tentang sunnah dan jalur-jalurnya, ahli fiqh, menguasai pen­dapat para sahabat, tabi'in dan generasi sesudah mereka. la telah menghimpun ilmu-ilmu yang belum pernah dihimpun oleh ulama` pada masanya, seorang imam yang diikuti, telah mencapui derajat mujtahid dan menjadi rujukan dalam berbagai bidang ilmu.

Ibn Khillikan berkata, la termasuk imam mujtahid dan tidak bertaklid kepada siapapun. Dan sebelum sampai ke tingkat mujtahid, tampaknya ia pengikut madzhab Syafi'i.
A1-Khathib berkata, la salah seorang ilmuwan terkemuka. Pen­dapatnya menjadi pendapat hukum dan menjadi rujukan karena pengetahuan dan keutamaannya. la telah menghimpun ilmu yang tiada duanya pada masanya. [13]

Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya­ Amul-tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Tabari. la diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dan Mesir dalam rangka "travelling in quest of knowledge" (al-rd.-tlah li talab al-'ilm) dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya. Al Syajary meriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwasanya ia hapal al-qur’an ketika berusia 7 tahun, menjadi Imam shalat ketika berusia 8 tahun, menulis hadis ketika berusia 9 tahun.

Di Rayy ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu `Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razy. la juga menimba ilmu dari al-Mu'sanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis. la pernah pula pergi ke Bagdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal (164-24I/ 7780-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat. la segera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd al-A'la al-San'ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu al-'As'as, Ahmad bin al-Miqdam (w. 253/867), dan Abu- al-jawza' Ahmad bin `U'sman (w 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas'adah dan Bisr bin Mu'ai al­`Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski sebelumnya pemah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin al­Sari (w. 243/857).[14]

Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama. la masih memu­satkan perhatian pada qira’ah (cara baca) dan fiqh dengan bim­bingan guru, seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa'labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za'farani dan al Raby al Murady.[15] Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, ia melanjutkan per­jalanan ke berbagai kota untuk mendapatkan ilmu, terutama pendalaman gramatika, sastra (Arab) dan qira’ah. Hamzah dan Warasy-(yang masih populer di kalangan qurra' hingga saat ini)-termasuk orang-orang yang telah memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal di Bagdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn `Uyainah dan Waqi' ibn al-Jarah, Syu'bah bin a1-Hajjaj, Yaajid bin Harun dan Abd ibn Ha-mid.[16]

Domisili terakhir sepulang dari Mesir adalah Bagdad dan sempat singgah di Tabaristan. Adapun pada permulaan tinggal di Baghdad ia bermazhab Syafi’i kemudian dengan kecerdasannya beliau berlepas dan berijtihad sendiri. Keterangan di atas sebagaimana ia tuturkan kepada Harun bin Abdul ‘Aziz dan diceritakan oleh Abu Muhammad al Farghany : “Saya tinggal di Baghdad dan mengikuti mazhab Syafi’i selama sepuluh tahun …”.[17]

Dari berbagai pengembaraannya dalam mencari ilmu, maka tidak berlebihan kalau Abu Ali al-Ahwazy mengatakan : “Al Thabary adalah orang yang faham tentang fiqh, hadis, tafsir, nahwu, bahasa Arab, sastra Arab, dan ia dalam ilmu-ilmu itu mempunyai karya-karya yang tidak tertandingi.[18]
Sejumlah karya telah berhasil ia telorkan dan akhirnya ia wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H bertepatan dengan 17 Februari 923 M dalam usia 85 tahun.[19] Menurut al Khatib, kematiannya dishalati oleh masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.[20]

4. Karya-karyanya
Menurut Ibnu Qadhy Syuhbah, kitabnya berjumlah 83 kitab.[21] Namun secara tepat, belum ditemukan data mengenai berapa jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi, yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Tabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang sampai ke tangan kita di antaranya :
  1. Adab al Manasik
  2. Adab al Nufus.
  3. Ikhtilaf al ‘ulama al amshar
  4. Ahaadis Ghadir Kham
  5. Al Jami’ fi al Qira’at
  6. Kitab Jami' al-Bayan ft Tafsir al-Qur'an
  7. Dll.[22]

C. Tafsir jami' al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an[23]
1. Sejarah Penulisan
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan heteroge­nitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatan­nya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewamai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan.

Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu ke­islaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis, di samping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan substansial. kemunculan aliran tafsir bi al-ma'sur dan bi al ­ra'yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bi al-ma'sur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari riwayat yang sahih/­akurat dan valid-hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggung­jawabkan menurut parameter-sanad dan rijal al-hadis- dalam disiplin `Ulumul Hadis. Itulah sebabnya, pada waktu yang ber­samaan tafsir bi al-ma'sur sedang menghadapi masalah serius, karena telah terjadi pembauran berbagai riwayat. Di samping itu, orientasi kajian tafsir yang tidak mono material, tetapi telah berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain seperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan filsafat. Pengaruh unsur-unsur di luar Islam turut mewarnai corak penafsiran, termasuk Israiliyyat.

Al-Tabari ada pada saat hilangnya salah satu aliran, rasional keagamaan Mu'tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran tradisional Asy'ariyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi sekte-sekte yang lain turut menyemarakkan bursa pemikiran di panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di negeri sendiri, menggugah sensitivitas keilmu­annya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melaku­kan respons dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja per­gulatan mazhab yang dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri sendiri dan kota-kota sekitarnya tidak terbantahkan, sampai-sampai pada hal mazhab yang di­ikutinya.

Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas sebagai seorang Sunni ketimbang seorang Rafidi-ektremis Ali­ yang pernah hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi.[24] Bukti bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsir. Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Tabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para murid-muridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 290 H.

Kitab tafsir karya al-Tabari, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami' aI-Bayan An Ta'wil Ay al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami' al-Bayan f i Tafsir al- Qur'an (Beirut: Dar al­Kutub al-`Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Tabari mencoba mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holistik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur'an yang pada umumnya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat dan atau surat, tema (ma'udu ), asbab al­-nuzul dan sebagainya.

Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas keberadaannya; ternyata tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang tersimpan di maktabah (koleksi pustaka pribadi) seorang Amir (pejabat) Najed, Hammad ibn `Amir `Abd a1­-Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut dike­temukan lantaran terjadi kebangkitan kembali percetakan pada awal abad 20-an. Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah (resume) dari kitab orisinalnya.

2. Karakteristik Penafsiran
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laiwn (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al Thabary, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqh. Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik (lugah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al­ ta-bi'in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-Ma'sur Semua itu diharapkan menjadi detector bagi ketepatan pemaha­mannya mengenai suatu kata atau kalimat.[25] la juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i'rab-nya. [26]

Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pe­maparan qira ah secara variatif, dan dianalisis dengan cara di­hubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian men­jatuhkan pilihan pada satu qira'ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.

Di sisi yang lain, al-Tabari sebagai seorang ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur'an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbul­kan perpecahan. Secara tidak langsung, ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat di tengah­tengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi generasi berikutnya.

Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah dan eskatologis, mau tak mau, ia terlibat dalam diskusi cukup intens. Dalam beberapa hal, sikap fanatisnya tampak cukup kentara, ketika ia harus membela ahl al-Sunnah wa al Jama’ah, pada saat berhadapan dengan beberapa pandangan kaum Mu'tazilah dalam doktrin-doktrin tertentu. Bahkan, ia terkesan menyerang gigih penafsiran metaforis dan ajaran-ajaran dogmatis mereka, meskipun ia telah berusaha untuk mengambil posisi yang moderat.

3. Metode penafsiran
Menurut H. Abdul Djalal, metode muqaran (komparatif) digunakan daam tafsir ini. Karena di dalamnya memuat pendapat-pendapat para ulama dan membanding pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain.[27] Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur, yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat.[28] Dalam periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuh lafaz, ia juga menggunakan ra'yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan, adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi kete­patan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak mau-ia harus meng­gunakan logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma'sur dan bi ar-ra'yi yang merupakan sebuah terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.

Riwayat-riwayat yang kontroversial (muta'aridah), ia jelas­kan dengan memberikan penekanan-penekanan-setuju atau tidak setuju (sanggahan)-dengan mengajukan alternatif pan­dangannya sendiri disertai argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, taabi'in dan ta-bi' aI-tabi'in, kemudian mengambil istinbat.
Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat).

Al-Tabari mengambil riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah muslim, seperti; Ka'ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, Abdullah Ibn Salam dan Ibn Juraij, dengan persepsi yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbul­kan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen. Ada dua pernyataan mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua, pentingnya pengalaman-peng­alaman dari umat dan konsistensi pengalaman sepanjang zaman. Dari penjelasan di atas, Dalam menafsirkan, al-Tabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:[29]

Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan: "Pendapat tentang takwil firman Allah" begini.[30]
Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi'in.

Menyimpulkan pendapat umum dari nash al-Qur'an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dart Rasulullah saw., sa­habat dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.

Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menye­butkan alasan-alasannya.
Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
Melanjutkannya dengan menjelaskan qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan qira'at yang kuat dan mengingatkan akan qira'at yang tidak benar.

Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan meng­ukuhkan makna nash.
Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk men­jelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.

Memaparkan pendapat-pendapat Fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum, mendiskusikannya dan menguatkan penda­pat yang menurutnya benar.
Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.

Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma' umat ketika memilih suatu pendapat.
Sebagai orang yang berpegang pada tafsir bil ma’sur, konsekuensinya tafsir Ibnu Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut :[31]

a. Mengikuti jalan sanad dalam silsilah riwayat.
b. Menjauhi tafsir bil ra’yi.
c. Apik dalam menyampaikan sanad.
d. Berpegang pada ilmu bahasa.
e. Banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabawiyyah.
f. Memperkuat dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat.
g. Perbendaharaan qira’at.
h. Mengkomprontirkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan fiqhiyyah.
i. Menghimpun dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat.

Inilah karakteristik utama metode tafsir Ibn Jarir. Namun demikian, ada sejumlah kritikan, antara lain:
la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan peneli­tian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa menge­tahui yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang me­nyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya.
Umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya, meski kadang-kadang la memposisi­kan diri sebagai seorang kritikus yang cermat.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Kemasyhuran tafsir ini telah mendunia. Ia telah dicetak berkali-kali, terdiri dari tiga puluh jilid besar. Ibnu Jarir menulisnya di akhir usianya, setelah memiliki kematangan ilmu, budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ia layak mendapat julukan Syaikhul Mufassirin. Tafsirnya ini telah menjadi induk kitab-kitab tafsir.

4. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Tabari mengikuti tartib Mushafi. Dalam sistematika ini, sang mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah (tahlily) di dalam mushaf (`Usmani). Sekalipun demikian, pada beberapa bagian tertentu, ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan mem­berikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya. Namun, secara umum la tidak keluar dari sis­tematika mushaf Usmani.­

Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan dasar riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya hingga sampai Nabi Saw. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk linguistik. Atas dasar pemaparan terdahulu, ia merespons secara positif dan mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat. Demi­kian hingga penafsiran ayat terakhir dari al-Qur'an 30 juz.

5. Contoh-contoh Penafsirannya
Al-Zahabi[32] memberikan contoh-contoh metode penafsiran yang ditempuh oleh Ibnu Jarir setelah ia menganalisa karakteristik metode Ibnu Jarir dalam menafsirkan, di antaranya sebagai berikut :
Salah satu contoh pengingkarannya terhadap yang menafsirkan al-Qur’an hanya berpegang pada ra’yu adalah sebagaimana dalam membantah orang yang menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 65. Ia menolak penafsiran Mujahid yang hanya memakai ra’yu dalam menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang berubah jadi kera itu hatinya bukan jasadnya.[33]

Contoh lain bahwa Ibnu Jarir berpaling dari penafsiran yang menurutnya tidak berfaedah, seperti tafsir Q.S. al-Maidah ayat 112, 113 dan 114 tentang jenis makanan yang dipinta oleh Hawayiyyun, baginya tidak perlu mencari-cari jenis makanan apa yang dipinta, apakah ikan, roti, atau buah-buahan dari surga atau yang lainnya karena tidak mengetahuinya tidak akan memadharatkan.[34]
Di bawah ini salah satu model teks penafsiran Q.S. An Nisa ayat 34.[35]

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)


القول في تأويل قوله : الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
قال أبو جعفر: يعني بقوله جل ثناؤه: (1) "الرجال قوّامون على النساء"، الرجال أهل قيام على نسائهم، في تأديبهن والأخذ على أيديهن فيما يجب عليهن لله ولأنفسهم ="بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يعني: بما فضّل الله به الرجال على أزواجهم: من سَوْقهم إليهنّ مهورهن، وإنفاقهم عليهنّ أموالهم، وكفايتهم إياهن مُؤَنهنّ. وذلك تفضيل الله تبارك وتعالى إياهم عليهنّ، ولذلك صارُوا قوّامًا عليهن، نافذي الأمر عليهن فيما جعل الله إليهم من أمورهن.
وبما قلنا في ذلك قال أهل التأويل.
*ذكر من قال ذلك:
9300 - حدثني المثنى قال، حدثنا عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله:"الرجال قوّامون على النساء"، يعني: أمرَاء، عليها أن تطيعه فيما أمرَها الله به من طاعته، وطاعته: أن تكون محسنةً إلى أهله، حافظةً لماله. وفضَّله عليها بنفقته وسعيه.
9301 - حدثني المثنى قال، حدثنا إسحاق قال، حدثنا أبو زهير، عن جويبر، عن الضحاك في قوله:"الرجال قوّامون على النساء بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يقول: الرجل قائمٌ على المرأة، يأمرها بطاعة الله، فَإن أبت فله أن يضربها ضربًا غير مبرِّح، وله عليها الفضل بنفقته وسعيه.
9302 - حدثنا محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا
__________
(1) في المطبوعة والمخطوطة: "يعني بذلك جل ثناؤه" ، والسياق يقتضي ما أثبت.


أسباط، عن السدي:"الرجال قوامون على النساء"، قال: يأخذون على أيديهن ويُؤدّبونهن. (1)
9303 - حدثني المثنى قال، حدثنا حبان بن موسى قال، أخبرنا ابن المبارك قال، سمعت سفيان يقول:"بما فضل الله بعضهم على بعض"، قال: بتفضيل الله الرجال على النساء.
وذُكر أنّ هذه الآية نزلت في رجل لطم امرأته، فخوصم إلى النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك، فقضَى لها بالقصاص.
ذكر الخبر بذلك:
9304 - حدثنا محمد بن بشار قال، حدثنا عبد الأعلى قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قال، حدثنا الحسن: أنّ رجلا لطمَ امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، فأراد أن يُقِصّها منه، فأنزل الله:"الرجالُ قوّامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم"، فدعاه النبيّ صلى الله عليه وسلم فتلاها عليه، وقال: أردتُ أمرًا وأراد الله غيرَه.
9305 - حدثنا بشر بن معاذ قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قوله:"الرجال قوامون على النساء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم"، ذكر لنا أن رجلا لطم امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، ثم ذكر نحوه.
9306 - حدثنا الحسن بن يحيى قال، أخبرنا عبد الرزاق قال، أخبرنا معمر، عن قتادة في قوله:"الرّجال قوّامون على النساء"، قال: صك رجل امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، فأراد أن يُقِيدَها منه، فأنزل الله:"الرجال قوامون على النساء".
__________
(1) في المطبوعة والمخطوطة: "ويؤدبوهن" ، وهو سهو من الناسخ ، وفي هامش المخطوطة حرف"ط" دلالة على الخطأ ، أو كأنه كان هكذا في الأصل الذي نقله عنه ، خطأ أيضًا.


9307 - حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا أبي، عن جرير بن حازم، عن الحسن: أنّ رجلا من الأنصار لطم امرأته، فجاءت تلتمس القصاص، فجعل النبي صلى الله عليه وسلم بينهما القصاص، فنزلت:( وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ ) [سورة طه: 114]، ونزلت:"الرجال قوّامون على النساء بما فضّل الله بعضَهم على بعض". (1)
9308 - حدثنا القاسم قال، حدثنا الحسين قال، حدثني حجاج، عن ابن جريج قال: لطم رجلٌ امرأته، فأراد النبيّ صلى الله عليه وسلم القصاص. فبيناهم كذلك، نزلت الآية.
9309 - حدثنا محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن مفضل قال، حدثنا أسباط، عن السدي: أما"الرجال قوامون على النساء"، فإن رجلا من الأنصار كان بينه وبين امرأته كلامٌ فلطمها، فانطلق أهلها، فذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم، فأخبرهم:"الرجال قوامون على النساء" الآية

Tentu saja contoh-contoh di atas belum di rasa represen­tatif untuk mewakili kandungan tafsir, tetapi paling tidak deskripsi tentang tafsir itu terlihat secara jelas dan gamblang, betapa kon­sistensi al-Tabari dalam mengaplikasikan metodologinya yang ditopang oleh kekuatan data dan akurasinya, tanpa menutup mata masih terdapat kelemahan-kelemahan yang ada.

D. Berbagai komentar terhadap tafsir al-Tabari
Kitabnya, Jami' al Bayan Fi Tafsir …, dinilai sebagai li­teratur penting dalam bidang tafrir bil ma’sur, bahkan dalam bidang tafsir bil ra'yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah­-wajah I’rab. karena itu, kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat sahabat dan tabi'in. Para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di bidang tafsir.[36]

AI-Nawawi berkata, belum ada yang karya yang ditulis oleh orang yang semisal dengan hitab tafsir Ibn Jarir.[37]

Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Bila seseorang melakukan perjalanan ke Cina untuk mendapatkan kitab Tafsir Ibn Jarir, maka perjalanan itu belum seberapa.[38]

Majlis Fatwa Riyadh, ketika ditanya kitab apa yang paling penting dan paling kompeten baik jaman sekarang maupun masa yang lalu? Jawabannya adalah Tafsir al-Tabary.[39]

Mengenai metodenya, kitab ini dianggap sebagai dasar bagi semua jenis tafsir karena adanya metode khas yang memadukan antara tafsir bil ma’sur dengan tafsir bil ra’yi disertai dengan pemilihan pendapat yang terkuat. Imam al-Syuyuthi berkata: "hitab Ibn Jarir adalah kitab tafsir paling agung. Kitab itu memaparkan pemilihan berbagai pendapat, I’rab dan istinbath (pengambilan huhum). Dengan karakteristik itulah kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik."[40]

Al-Imam Ibn Taimiyyah berkata, adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir al-Thabari. Kitab ini menuturukan pendapat-­pendapat kaum Salaf dengan sanad-sanadnya, tidak memuat bid'ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta.[41]
Dalam suatu kesempatan Muhammad Abduh mengomentari tafsir al-Tabari demikian:

Kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan …. [42]

Menurut Dr. Fahd bin Abdurrahman ar Rumi,[43] keistimewaan tafsir Thabari adalah sebagai berikut:
Al-Tabari berpegang kepada tafsir bil-ma'tsur dari Rasulullah, para shahabat dan tabi'in;
8erpegang teguh pada periwayatan yang bersanad;
Peran Thabari dalam mengarahkan perkataan-perkataan dan tarjih;
Penyebutan terhadap bentuk-bentuk i'rab.
Ketelitiannya dalam mengistimbatkan (penggalian) hukum syari'ah dari ayat-ayat al-Qur'an.
Demikianlah sebagian dari komentar-komentar yang bernada pujian terhadap tafsir al-Tabary bahan sekaliber Ignaz Goldziher memaparkan secara obyektif beberapa pujian dari sarjana Barat dan Timur[44] sehingga pantas dan wajar kalau Ahmad Syakir menilai dan menjuluki Ibn Jarir dengan Imam al Mufassirin[45] dan Imam an Nawawy menyebutnya “Penghimpun dua lautan dan tempat terbit dua bulan purnama (بمجمع البحرين ومطلع البدرين)”[46]


E. Kesimpulan
Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.

Penerapan metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.Itulah sebabnya Tafsir ini memili karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Tabari tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten dengan bidang sejarah yang ia kuasai.

[1] Dalam Rosihon Anwar, Samudra Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 173.
[2]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir :Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), 15.
[3] Dalam Sri Mulyati, Pengantar Kajian al-Qur’an (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), 102.
[4] Beberapa kitab yang memuat biografi Ibnu Jarir sebagaimana disebutkan oleh Al Hafiz Syamsuddin al Dawudy dalam kitabnya Thabaqah al Mufassirin juz 2 hlm. 110 di antaranya disebutkan dalam kitab : al bidayah wa al nihayah karya Ibnu Katsir II/145, Tarikh Baghdad karya al Khatib al-baghdady 2/162, Tadzkirah al Hufaz az Zahaby 2/710, Tahzib al asma wa al lughah karya Al Nawawy 1/78, Raudhatul Jannat 163, Thabaqat al Syafi’iyah karya Al Subky 3/120, Thabaqat al Syirazy 76, dll.
[5] Muhammad Bakar Ismail, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu f`i al-Tafsir (Kairo: Dar al-Manar,1991), h. 9-10 dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 20.
[6] Ibid.
[7] Sebuah kota di Iran, 12 km, ada yang menyebutkan 20 km, sebelah Selatan Laut Kaspia. Daerah yang penduduknya suka konflik (berperang), dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar (kapak), sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih dikenal dengan sebutan al-Tabari, yang diambilkan dari nama "kul­tural"-nya.
 [8] Yaqut al-Hamawi, Mu jam al-Udaba', xviii, dikutip melalui Rasul Ja'farian dalam jurnal al-Hikmah, Syawwal Dzulhijjah 1413/April-Juni 1993 dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 21.
[9] Ibnu Qadhy Syuhbah, Thabaqat al Syafi’iyyah, juz I: 8 (CD Mausu’ah/ www.alwarraq.com)
[10] Lihat Muqaddimah al-Tabary, 4.
[11]Ahmad Ibn Kamil al Syajary mengatakan bahwasanya ia telah bertanya kepada Ibnu Jarir, “mengapa terjadi keraguan dalam kelahirannya?, Ia menjawab: Karena para ahli sejarah di negeri kami berbeda dalam menentukan tahun ke­lahiranoleh karena ada perbedaan sisbem penanggalan yang berlaku pada saat itu, bersifat tradisional dengan bersandar pada aksiden-aksiden penting bukan dengan angka, ..
[12] Menurut catatan Muhammad Aly al-Sabuny dalam Pengantar Study al-Qur'an, terj. Chudlori Umar dan Mob. Matsna HS. (Bandung: al-Ma'arif, 1984), h. 257. Selengkapnya lihat Franz Rosenthal. The History of al-Tabari, vol. I. (New York: State University of New York Press, 1989), h.178.


[13] Yunus Hasan Abidu, Dirasat wa mabahits fi tarikh al tafsir wa manahij al mufassirin; terj. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan metode para mufassir (Jakarta: Gaya Media, 2007), 68.
[14] Subhi al-Salih, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-'Ilm), cet. VII, 1972), 290.
[15] Dua orang terakhir ini adalah guru dalam bidang fiqh, lihat Ibnu Qadhy Syuhbah, Ibid., 9.
[16] Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur an, Tahqiq Muham­mad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/ 1957M), II:159.
[17] Ibnu Qadhy Syuhbah, Ibid., 9.
[18] Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, 7
[19] Menurut perhitungan Ibnu Qadhy Syuhbah, ia berusia 86 tahun, Ibid.
[20] Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, Ibid.
[21] Ibid.
[22] Shidqy al Athar, Muqaddimah Tafsir Al Tabary (Beirut: Darul Fikr, 1995), 11.
[23] Sebagian sumber menyebutnya dengan Jami' al-Bayan fi Ta'wil Ay al­Qur an, dan tafsir ini sering hanya disebut Jami' al-Bayan , Tafsir Ibn Jarir dan lebih populer disebut Tafsir al-Tabari

[24] Ia sempat dituding tasyayyu karena ia menshahihkan hadis ghadir khum. (Lisan al Mizan, juz 2:358).
[25]Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Mansyurat al­ Ashr al-Hadits, 1393H/1973M), 363.
[26] M. Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, h. 5. Kapasitas al­-Tabari sebagai seorang ahli qira’at yang berguru kepada Qalun disamping Mujahid dimunculkan secara konsisten dalam tafsirnya.
[27] H. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 31.
[28] Shidqy al ‘Athar, Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir (Beirut: Darul Fikr, 1995), 3.
[29] Lihat Yunus Hasan Abidu, Ibid’, 72.
[30] Bagi al-Tabari, antara tafsir dan takwil keduanya tidak berbeda, meski mufasir sesudahnya menganggap ada perbedaannya. Lihat Muqaddimah Tafsir hal 10, cetakan Darul Fikr. Bagi Nasr Hamid Abu Zaid, "Tafsir" merupakan bagian dari proses 'takwil', hubungan keduanya adalah hubungan antara yang khass dan yang 'am. Lihat Tekstualitas al-Qur'an, Kritik terhadap 'Ulumul Qur'an terj. Khoirun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), 318.

[31] Tafsir Ibnu Jarir, 11.
[32] Muhammad Husein Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976), Jilid I, 210-224.

[33] Lihat Tafsir Ibnu Jarir, juz I hal. 252-253.
[34] Ibid., juz VII hal. 88.
[35] Ibid., juz VIII hal. 290 (Cd Mausu’ah)
[36] Yunus Hasan, Ibid., 69.
[37] Dalam al-Itqan fi ulumil Qur’an, juz I, 455.
[38] Muqaddimah tafsir Ibn Jarir, ibid., 7.
[39] Ahmad Ibn Abdurrajaq, Fatwa lajnah al daimah li al buhuts …. (Riyadh: Risalah idarah al buhust al ilmiyyah, 1996.
[40] Al Suyuthy, Al Itqan …, 454.
[41] Dalam Yunus Hasan, Ibid., 70.
[42] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an dalam Muhammad Yusuf, StudiKitab Tafsir…, 40. Muhammad Yusuf, S.r'adny..ajar kalau Ahmad Syakir menilai dan menjuluki Ibn Jarir dengan Imam al Mufassirin_______________
[43] Fahd bin Abdurrahman ar Rumi, Dirasat fi ulumil qur’an; terj. Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas al-Qur’an, 204.
[44] Lihat Goldziher, Mazhab Tafsi; terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), cet. III, 112-126.
[45] Muqaddiah tafsir al Tabary, 5.
[46] Al Suyuthy, al-Itqan….,, juz I, 455.

Sejarah Mongol Islam

A. Pendahuluan


Setiap bangsa pastilah memiliki sejarah masa lalunya, beserta hasil beradaban pada masa itu. Sebagaimana dengan peradaban-peradaban di dunia, Bangsa Mongol pun memiliki kekayaan sejarah dan kebudayaan yang tidak ternilai sumbangannya terhadap peradaban dunia, pada umumnya dan Islam pada khususnya. Dalam khazanah pengetahuan sejarah, Bangsa Mongol mulai muncul pada akhir abad XII dan awal abad XIII.

Menurut Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Masa Mongol dalam sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M sampai masuknya tentara Usmani ke Mesir kemudian menguasai Afrika Utara, Jazirah Arab, Siria pada tahun 1517 M di bawah pimpinan sultan Salim.

Sejarah Kekaisaran Bangsa Mongol tidak terlepas dari peran dan pengaruh Jengis Khan. Oleh sebab itu Michael J. Hart menempatkannya pada urutan ke-21 dari 100 tokoh terkemuka. Ghengis Khan, juga dieja Genghis Khan, Jinghis Khan, Chinghiz Khan, Chinggis Khan, Changaiz Khan, dll, nama asalnya Temüjin, juga dieja Temuchin atau TiemuZhen, (sek. 1162 - 18 Agustus 1227) adalah khan Mongol dan ketua militer yang menyatukan bangsa Mongolia dan kemudian mendirikan Kekaisaran Mongolia dengan menaklukkan sebagian besar wilayah di Asia, termasuk utara Tiongkok (Dinasti Jin), Xia Barat, Asia Tengah, Persia, dan Mongolia. Dan selanjutnya keturunannya meluaskan penguasaan Mongolia menjadi kekaisaran terluas dalam sejarah manusia. Dia merupakan kakek Kubilai Khan, pemerintah Tiongkok bagi Dinasti Yuan di China.

Begitu luas kekuasaan Bangsa Mongol, yang kurang lebih tiga abad menguasai sebagian besar daratan Asia dan Eropa sebelum dan sesudah bersentuhan dengan Islam. Oleh sebab itu, penulis akan membatasi dalam makalah ini yaitu mengkaji fakta-fakta yang terjadi di tengah-tengah dinasti-dinasti Islam keturunan Chengis; Chaghtai, Golden Horde>, dan Ilkhan.

1. Asal Usul Bangsa Mongol

Ada beberapa versi mengenai asal usul bangsa Mongol, dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan Mongol adalah sebuah bangsa yang berasal dari pedalaman Siberian yang datang dari arah utara menuju ke wilayah Mongolia. Mereka menamakan dirinya sendiri sebagai “putra srigala berbulu hijau” dan sebagai “rusa tak bertanduk”, dan kehidupan mereka ibarat kehidupan binatang[4]. Dalam versi lain dikatakan Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putera kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putera itu melahirkan dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar.[5]

Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan hangsa Turki dan China yang menjadi tetangga mereka. Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya. Mereka menganut agama Syamaniah (Syamanism), menyembah bintang-bintang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.[6]

2. Kehancuran Baghdad; kemunculan Mongol
Ratusan ribu mayat tanpa kepala berserakan dan tumpang tindih memenuhi jalan-jalan, parit-parit dan lapangan-lapangan. Di sekitarnya bangunan-bangunan megah dan indah banyak yang tinggal puing-puing dan rerontokan. Asap masih mengepul dari bangunan-bangunan yang dibakar. Tentara dari pangkat rendah sampai tinggi sibuk memenggal kepala ribuan manusia dan kemudian memisahkan kepala yang terpisah dari tubuhnya itu menurut kelompok: kepala wanita, anak-anak, orang tua, dipisahkan satu dari yang lain. Sungai Dajlah atau Tigris berubah menjadi hitam disebabkan tinta ribuan manuskrip yang dilempar ke dalamnya. Perpustakaan, rumah sakit, mesjid, madrasah, tempat pemandian dan rumah para bangsawan, toko dan rumah makan –semuanya dihancurkan.

Demikianlah, kota yang selama beberapa abad menjadi pusat terbesar peradaban Islam itupun musnah dalam sekejap mata. Setelah puas, pasukan penakluk itupun bersiap-siap pergi tanpa penyesalan sedikitpun. Mereka kini hanya sibuk mengumpulkan barang-barang jarahan yang berharga: timbunan perhiasan yang tak ternilai harganya, berkilo-kilo batangan emas dan uang dinar, batu permata, intan berlian – semua dimasukkan ke dalam ratusan karung dan kemudian diangkut dalam iringan gerobak dan kereta yang sangat panjang.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan tersebut.

Di antara catatan sejarah mengenai kebiadaban orang-orang Mongol ialah catatan sejarawan terkemuka Ibnu ‘Athir (w. 1231 M) dan ahli Geografi Yaqut al-Hamawi (w.1229 ). Menurut mereka, tokoh-tokoh muslim terkemuka, amir, panglima perang, tabib, ulama, budayawan, ilmuan, cendekiawan, ahli ekonomi dan politik, serta saudagar kaya – tewas dalam keadaan mengenaskan. Kepala mereka dipenggal, dipisahkan dari badan, karena khawatir ada yang masih hidup dan berpura-pura mati.[7]

3. Latar Belakang Penyerbuan ke Wilayah Muslim

Pada tahun 1255, Hulagu dikirim oleh saudaranya Mongke, The Great Khan (1251-1258) untuk menaklukan wilayah yang dikuasai kaum muslimin di Timur Tengah, dan memerintahkan kepadanya agar tidak menghancurkan setiap daerah yang menyerah tetapi sebaliknya membumihanguskan setiap daerah yang memberikan perlawanan.

Hulagu merencanakan akan menaklukkan wilayah muslim Lurs (di daerah Iran), kemudian menumpas sekte Hashashin, menaklukkan kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, menaklukkan kekhalifahan Ayyubi di Syria dan terakhir menundukkan kekhalifahan Mameluk di Mesir.

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Hulagu sangat bernafsu menaklukkan wilayah muslim dan kejam setiap kali dia berhasil menguasainya, yaitu : Ibu Hulagu, istri dan sahabat dekatnya, Kitbuqa termasuk kristen fanatik yang memendam kebencian mendalam terhadap orang Islam. Juga para penasehatnya banyak yang berasal dari Persia yang memang berharap dapat membalas dendam atas kekalahan mereka satu abad sebelumnya ketika persia ditaklukan oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

B. Kekaisaran Mongol Pasca Jengis khan dan Pengaruhnya dalam Perkembangan Islam
Pada saat kondisi fisiknya mulai lemah, Jengis khan membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat bagian kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, Chagathai, Ogotai, dan Tuli. Dari keempat orang itu, muncul dinasti-dinasti yang secara langsung berpengaruh dalam memberikan warna dalam perkembangan Islam di semenjung Mongolia. Diantara dinasti-dinasti tersebut ialah Dinasti Chaghatai, Dinasti Golden Horde>, dan Dinasti Ilkhan.[8]

1. DINASTI CHAGHTAI (1227-1369 M).

Dinasti Chaghatai terdiri dari wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Chaghatai Khan (ejaan alternative : Chagata, Chagta, Djagatai, Jagatai).[9]Chaghatai (w. 1242) merupakan anak ke-2 dari Jengis Khan yang diberi wilayah kekaisan Mongol yang membentang dari sungai Illi (sekarang bagian timur Kazakhstan) dan Kashgaria (sebelah barat Tarim Basin) sampai Transoxiana (Uzbekisthan dan Turkmenistan). Setelah ayahnya meninggal, ia mewarisi lebih dari apa yang sekarang disebut lima Negara Asia Tengah dan Iran Utara.[10] Chaghtai sangat taat kepada UUD Mongol dan membenci dengan aturan Islam dan membenci Umat Islam. Tetapi walau pun demikian, dalam pemerintahannya ia mempunyai seorang menteri muslim yang bernama Qutub al Din Habs, yang dikemudian hari mempunyai peranan dalam perkembangan Islam di wilayah ini. Menurut Bosworth, daerah kekuasaan dinasti Chagatai membentang ke timur dari Transoxania sampai Turkistan Timur atau Turkistan China.Cabang barat keturunan Chagatai di Transoxania segera masuk dalam lingkungan pengaruh Islam, namun ditumbangkan oleh Timur, Cabang timur di Semirechye dan Illi serta T’ien Syan di Tarim, lebih tahan terhadap Islam. Namun, keturunan Chagatai di Timur pada akhirnya membantu menyebarkan Islam di Turkistan China, dan mereka bertahan sampai abad XVII M.[11] Atas nama Chagtai, dinasti yang berkembang dan dikendalikan oleh keturunannya, disebut Dinasti Chaghtai yang hampir 150 tahun (1227-1369 M) berkuasa di Tsansoxiana sebagai basis daerah politik mereka. Dinasti-dinasti Chagtai setelah meninggalnya Chaghtai secara turun temurun menurut M. Abdul Karim[12] adalah sebagai berikut :

a. Kara Hulegu (1241-1248).
b. Ishu Mongguki (1248-1251).
c. Kara Hulegu (1251).
d. Orghana (Janda Kara) (1251-1266).[13]
e. Mubarak Syah (1266).[14]
f. Buraq Khan (1266-1271).
g. Nik Pay (1271).
h. Buka Timur (1282).
i. Dua Khan (1307)
j. Ishen Bukay (1309-1318).
k. Khan kabag (1318-1326).
l. Therma Shirrin (1326-1334).[15]
m. Sebanyak 17 orang Chaghatai berkuasa (1334-1369).
n. Tura (1364), boneka Timur Leng.
o. Timur Leng

Yang menarik dari dinasti di atas, adalah dinasti Timur. Karena ibunya berdarah Chaghtai dan ia juga sebagai penyambung dinasti tersebut di samping bapaknya adalah darah keturunan Turki. Karena Timur dipandang yang mempertahankan, memajukan, dan menerapkan syariat Islam di kalangan Chaghtai Islam, maka berikut secara khusus dijelaskan tentangnya secara singkat :

Tamerlane (1336 – 14 Februari 1405) (Bahasa Turki Chagatai: تیمور Tēmōr, "besi"), juga dikenal sebagai Temur, Timur Lenk, Taimur, atau Timuri Leng, yang
artinya Timur si Pincang, karena kaki kirinya yang pincang sejak lahir adalah seorang penakluk dan penguasa keturunan Turki-Mongol dari wilayah Asia Tengah, yang terkenal pada abad ke-14, terutama di Rusia selatan dan Persia


Timur[16] Monumen Timur Lenk di Samarkand, Uzbekistan

Kehidupan awal
Timur dilahirkan di Kesh (kini bernama Shahr-i-Sabz, 'kota hijau'), yang terletak sekitar 50 mil di sebelah selatan kota Samarkand di Uzbekistan. Ayahnya bernama Turghai yang merupakan ketua kaum Barlas. Ia adalah cicit dari Karachar Nevian (menteri dari Chagatai Khan, yaitu anak Jenghis Khan sekaligus komandan pasukan tempurnya), dan Karachar terkenal di antara kaumnya sebagai yang pertama memeluk agama Islam. Turghai mungkin saja mewarisi pangkat yang tinggi di ketentaraan; tetapi seperti ayahnya Burkul, ia menggemari kehidupan beragama dan belajar.

Di bawah bimbingan yang baik, Timur ketika berusia dua puluh tahun bukan saja mahir dalam kegiatan-kegiatan luar ruangan, tetapi juga mempunyai reputasi sebagai pembaca Al-Qur’an yang tekun.[17]

Serangan-Serangan Timur Lenk
Timur Lenk merupakan keturunan Mongol yang sudah masuk Islam, dimana sisa-sisa kebiadaban dan kekejaman masih melekat kuat. Dia berhasil menaklukkan Tughluk Temur dan Ilyas Khoja, dan kemudian dia juga melawan Amir Hussain (iparnya sendiri). Dan dia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Transoxiana, pelanjut Jagati dan Turunan Jengis Khan. Timur Lenk adalah seorang yang sangat ambisius, merasa dirinya sangat kuat dan ingin menguasai seluruh dunia seperti Chengis Khan dan Alexander Agung. Ia pernah berkata, ”Penguasa Tunggal di angkasa adalah Allah dan bumi pun hanya ada seorang penguasa tunggal, dan dia adalah saya, Timur Lenk”.[18]

Setelah lebih dari satu abad umat Islam menderita dan berusaha bangkit dari kehancuran akibat serangan bangsa Mongol di bawah Hulagu Khan, malapetaka yang tidak kurang dahsyatnya datang kembali, yaitu serangan yang juga dari keturunan bangsa Mongol. Berbeda dari Hulagu Khan dan keturunannya pada dinasti Ilkhan, penyerang kali ini sudah masuk Islam, tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejaman masih melekat kuat. Serangan itu dipimpin oleh Timur Lenk, yang berarti Timur si Pincang.

Sejak usia masih sangat muda, keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa sudah terlihat. Ia sering diberi tugas untuk menjinakkan kuda-kuda binal yang sulit ditunggangi dan memburu binatang-binatang liar. Sewaktu berumur 12 tahun, ia sudah terlibat dalam banyak peperangan dan menunjukkan kehebatan dan keberanian yang mengangkat dan mengharumkan namanya di kalangan bangsanya. Akan tetapi, baru setelah ayahnya meninggal, sejarah keperkasaannya bermula setelah Jagatai wafat, masing-masing Amir melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Timur Lenk mengabdikan diri pada Gubernur Transoxiana, Amir Qazaghan Ketika Qazaghan meninggal dunia, datang serbuan dari Tughluq Temur Khan, pemimpin Moghulistan, yang menjarah dan menduduki Transoxiana. Timur Lenk bangkit memimpin perlawanan untuk membela nasib kaumnya yang tertindas. Tughluq Temur setelah melihat keberanian dan kehebatan Timur, menawarkan kepadanya jabatan gubernur di negeri kelahirannya. Tawaran itu diterima. Akan tetapi, setahun setelah Timur Lenk diangkat menjadi gubernur, tahun 1361 M, Tughluq Temur mengangkat puteranya, Ilyas Khoja menjadi gubernur Samarkand dan Timur Lenk menjadi wazirya. Tentu saja Timur Lenk menjadi berang. Ia segera bergabung dengan cucu Qazaghan, Amir Husain, mengangkat senjata memberontak terhadap Tughluq Temur.

Timur Lenk berhasil mengalahkan Tughluq Temur dan Ilyas Khoja. Keduanya dibinasakan dalam pertempuran. Ambisi Timur Lenk untuk menjadi raja besar segera muncul. Karena ambisi itulah ia kemudian berbalik memaklumkan perang melawan Amir Husain, walaupun iparnya sendiri. Dalam pertempuran antara keduanya, ia berhasil mengalahkan dan membunuh Amir Husain di Balkh. Setelah itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Transoxiana, pelanjut Jagatai dan turunan Jengis Khan, pada 10 April 1370 M. Sepuluh tahun pertama pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Jata dan Khawarizm dengan sembilan ekspedisi.

Setelah Jata dan Khawarizm dapat ditaklukkan, kekuasaannya mulai kokoh. Ketika itulah Timur Lenk mulai menyusun rencana untuk mewujudkan ambisinya menjadi penguasa besar, dan berusaha menaklukkan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Jengis Khan.

Pada tahun 1381 M ia menyerang dan berhasil menaklukkan Khurasan. Setelah itu serbuan ditujukan ke arah Herat. Di sini ia juga keluar sebagai pemenang. Ia tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus melakukan serangan ke negeri-negeri lain dan berhasil menduduki negeri-negeri di Afghanistan, Persia, Fars dan Kurdistan. Di setiap negeri yang ditaklukkannya, ia membantai penduduk yang melakukan perlawanan. Di Sabzawar, Afghanistan, bahkan ia membangun menara, disusun dari 2000 mayat manusia yang dibalut dengan batu dan tanah liat. Di Ispaha, ia membantai lebih kurang 70.000 penduduk. Kepala-kepala dari mayat-mayat itu dipisahkan dari tubuhnya dan disusun menjadi menara.[19] Dari sana ia melanjutkan ekspansinya ke Irak, Syria dan Anatolia (Turki). Tahun 1393 Mia menghancurkan dinasti Muzhaffari di Fars dan membantai amir-amirnya yang masih hidup. Pada tahun itu pula Baghdad dijarahnya, dan setahun kemudian ia berhasil menduduki Mesopotamia. Penguasa Baghdad itu, Sultan Ahmad Jalair, melarikan diri ke Syria. Ia kemudian menjadi Vassal dari Sultan Mesir, Al-Malik al-Zahir Barquq. Penguasa dinasti Mamalik yang berpusat di Mesir ini adalah satu-satunya raja yang tidak mau dan tidak berhasil ditundukkannya. Utusan-utusan Timur Lenk yang dikirim ke Mesir untuk perjanjian damai, sebagian dibunuh dan sebagian lagi diperhinakan, kemudian disuruh pulang ke Timur Lenk. Mesir, sebagaimana pada masa serangan-serangan Hulagu Khan, kembali selamat dari serang bangsa Mongol. Karena Sultan Barquq tidak mau mengekstradisi Ahmad Jalair yang berada dalam perlindungannya, Timur Lenk kemudian melancarkan invasi ke Asia Kecil menjarah kota-kota, Takrit, Mardin dan Amid. Di Takrit, kota kelahiran Salahuddin al-Ayyubi, ia membangun sebuah piramida dari tengkorak kepala korban-korbannya.

Pada tahun 1395 M ia menyerbu daerah Qipchak, kemudian menaklukkan Moskow yang didudukinya selama lebih dari setahun. Tiga tahun kemudian ia menyerang India. Konon alasan penyerbuannya adalah karena ia menganggap penguasa muslim di daerah ini terlalu toleran terhadap penganut Hindu. Ia sendiri berpendapat, semestinya penguasa muslim itu memaksakan Islam kepada penduduknya. Di India ia membantai lebih dari 80.000 tawanan. Dalam rangka pembangunan masjid di Samarkand, ia membutuhkan batu-batu besar. Untuk itu, 90 ekor gajah dipekerjakan mengangkat batu-batu besar itu dari Delhi ke Samarkand.

Setelah fondasi masjid dibangun, tahun 1399 M Timur Lenk berangkat memerangi Sultan Mamalik di Mesir yang membantu Ahmad Jalair, penguasa Mongol di Baghdad yang lari ketika ia menduduki kota itu sebelumnya, dan memerangi Kerajaan Usmani di bawah Sultan Bayazid I. Dalam perjalanannya itu, ia menaklukkan Georgia. Di Sivas, Anatolia sekitar 4000 tentara Armenia dikubur hidup-hidup untuk memenuhi sumpahnya bahwa darah tidak akan tertumpah bila mereka menyerah.

Pada tahun 1401 M ia memasuki daerah Syria bagian utara. Tiga hari lamanya Aleppo dihancurleburkan. Kepala dari 20.000 penduduk dibuat piramida setinggi 10 hasta dan kelilingnya 20 hasta dengan wajah mayat menghadap keluar. Banyak bangunan seperti sekolah dan masjid yang berasal dari zaman Nuruddin Zanggi dan Ayyubi dihancurkan. Hamah, Horns dan Ba'labak berturut-turut jatuh ketangannya. Pasukan Sultan Faraj dari Kerajaan Mamalik dapat dikalahkannya dalam suatu pertempuran dahsyat sehingga Damaskus jatuh ke tangan pasukan Timur lenk pada tahun 1401 M. Akibat peperangan itu masjid Umayyah yang bersejarah rusak berat tinggal dinding-dindingnya saja yang masih tegak. Dari Damaskus para seniman ulung dan pekerja atau tukang yang ahli dibawanya ke Samarkand. Ia memerintahkan ulama yang menyertainya untuk mengeluarkan fatwa membenarkan tindakan-tindakannya itu. Setelah itu serangan dilanjutkan ke Baghdad. Ketika Baghdad berhasil ditaklukkan, ia melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 20.000 penduduk sebagai pembalasan atas pembunuhan terhadap banyak tentaranya sewaktu mengepung kota itu. Di sini, seperti kebiasaannya, ia kemudian mendirikan 120 buah piramida dari kepala mayat-mayat sebagai tanda kemenangan.

Kerajaan Usmani, oleh Timur Lenk dipandang sebagai tantangan terbesar, karena kerajaan ini menguasai banyak daerah bekas imperium Jengis Khan dan Hulagu Khan. Bahkan, Sultan Bayazid, penguasa tertinggi kerajaan ini sebelumnya berhasil meluaskan daerah kekuasaannya ke daerah-daerah yang sudah ditaklukkan oleh Timur Lenk. Karena itu Timur Lenk sangat berambisi mengalahkan kerajaan ini. Ia mengerahkan bala tentaranya untuk memerangi tentara Bayazid I. Di Sivas terjadi peperangan hebat antara kedua pasukan itu. Timur Lenk keluar sebagai pemenang dan putera Bayazid I, Erthugrul, terbunuh dalam pertempuran tersebut. Pada tahun 1402 M terjadi peperangan yang menentukan di Ankara. Tentara Usmani kembali menderita kekalahan, sementara Sultan Bayazid sendiri tertawan ketika hendak melarikan diri. Bayazid akhirnya meninggal dalam tawanan. Timur Lenk melanjutkan serangannya ke Broessa, ibu kota lama Turki, dan Syria. Setelah itu ia kembali ke Samarkand untuk merencanakan invasi ke Cina. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di Otrar, ia menderita sakit yang membawa kepada kematiannya. Ia meninggal tahun 1406 M, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya dibawa ke Samarkand untuk dimakamkan dengan upacara kebesaran.

Sekalipun ia terkenal sebagai penguasa yang sangat ganas dan kejam terhadap para penentangnya, sebagai seorang muslim Timur Lenk tetap memperhatikan pengembangan Islam. Bahkan dikatakan, ia seorang yang saleh. Konon, ia adalah penganut Syi'ah yang taat dan menyukai tasawuf tarekat Naqsyabandiyyah. Dalam perjalanan-perjalanannya ia selalu membawa serta ulama-ulama, sastrawan dan seniman. Ulama dan ilmuwan dihormatinya. Ketika berusaha menaklukkan Syria bagian utara, ia menerima dengan hormat sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun yang diutus Sultan Faraj untuk membicarakan perdamaian. Kota Samarkand diperkayanya dengan bangunan-bangunan dan masjid yang megah dan indah. Di masa hidupnya kota Samarkand menjadi pasar internasional, mengambil alih kedudukan Baghdad dan Tabriz. Ia datangkan tukang-tukang yang ahli, seniman-seniman ulung, pekerja-pekerja yang pandai dan perancang-perancang bangunan dari negeri-negeri taklukannya; Delhi, Damaskus dan lain-lain. Ia meningkatkan perdagangan dan industri di negerinya dengan membuka rute-rute perdagangan yang baru antara India dan Persia Timur. Ia berusaha mengatur administrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata dengan cara-cara rasional dan berjuang menyebarkan Islam.

Setelah Timur Lenk meninggal, dua orang anaknya, Muhammad Jehanekir dan Khalil, berperang memperebutkan kekuasaan. Khalil (1404-1405 M) keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, ia hidup berfoya-foya menghabiskan kekayaan yang ditinggalkan ayahnya. Karena itu saudaranya yang lain, Syah Rukh (1405-1447 M), merebut kekuasaan dari tangannya. Syah Rukh berusaha mengembalikan wibawa kerajaan. Ia seorang raja yang adil dan lemah lembut. Setelah wafat, ia diganti oleh anaknya Ulugh Bey (1447-1449 M), seorang raja yang alim dan sarjana ilmu pasti. Namun, masa kekuasaannya tidak lama. Dua tahun setelah berkuasa ia dibunuh oleh anaknya yang haus kekuasaan, Abdal-Latif (1449- 1450 M). Raja besar dinasti Timuriyah yang terakhir adalah Abu Sa'id (1452-1469 M). Pada masa inilah kerajaan mulai terpecah belah. Wilayah kerajaan yang luas itu diperebutkan oleh dua suku Turki yang baru muncul ke permukaan, Kara Koyunlu (domba hitam) dan Ak Koyunlu (domba putih). Abu Sa'id sendiri terbunuh ketika bertempur melawan Uzun Hasan, penguasa Ak Kdyunlu.[20]

2. DINASTI GOLDEN HORDĒ>> (1256-1391)

Pada masa Oghtai, terjadi penaklukan (1236-1237) besar-besaran terhadap lembah Sungai Vulgha dan Siberia. Di bawah kepemimpinan Batu[21], warga nomad Mongol dan Turki menaklukkan beberapa daerah di bagian utara laut Aral dan Caspia dan mendirikan ibukota mereka di sungai Volga. Dalam penyerbuan yang paling besar dalam sejarah dunia, The Golden Horde>[22] juga menaklukkan Rusia, Ukraina, Polandia Selatan, Hungaria dan Bulgaria dan membentuk sebuah imperium yang mengembangkan wilayahnya ke arah utara sampai wilayah hutan Rusia, kea rah selatan sampai ke laut Hitam dan Caucasus. Moskow merupakan wilayah kekuasaan boneka yang utama bagi rezim Golden Horde; sedang beberapa penguasa Rusia lainnya bertanggung jawab kepada Moskow untuk pembayaran pajak.[23]

Bangsa Turki dan Mongol yang tengah mengadakan penaklukan tersebut segera mendapatkan sebuah identitas sejarah yang baru. Melalui pergaulan dengan warga taklukan, mereka terlibat dalam percakapan bahasa Turki “Tartar” dan akhirnya mereka memeluk agama Islam.[24]

Di antara pemimpin Mongol pertama yang memeluk Islam ialah Barkha Khan (1256-1267), cucu Jengis Khan dari putranya Juchi Khan[25], yang menguasai Eropa timur dan tengah dan berkedudukan di Sarai, lembah Wolga. Dia dan para pengikutnya memeluk Islam pada tahun 1260 berkat dakwah para ulama sufi yang berada di daerah tersebut. Pada tahun itu juga Barkha mengirim ribuan tentaranya untuk membantu sultan Baybars di Mesir yang sedang menghadapi serangan Hulagu Khan dan tentara Salib. Dalam pertempuran di Ain Jalut pasukan Hulagu dapat dihancurkan. Sejak itu agama Islam berkembang pesat di lembah Wolga dan orang-orang Mongol yang bermukim di wilayah itu menyebut diri sebagai orang Kozak (Kystchak). Menurut Ibnu Katsir[26], Barkha Khan meninggal pada tahun 665 H dan digantikan oleh salah seorang dari keluarganya yang bernama Mankutmar[27] Bin Tughan Bin Babu bin Tuli bin Jenghis khan.

Imperium Golden Horde mempertahankan kekuasaannya dari pertengahan Abad tigabelas sampai pertengahan abad limabelas, tetapi secara perlahan-lahan mengalami disintegrasi akibat tekanan ekspansi Utsmani (yang mengusir pihak Golden Horde dari wilayah Laut Tengah), dan kebangkitan Moskow, Moldavia, dan Lithuania. Demikian juga, dalam rentang abad empatbelas sampai abad enambelas, The Golden Horde> terpecah menjadi sejumlah wilayah kekuasaan yang lebih kecil dan terpecah belah menjadi beberapa kelompok Tartar Crimea, Tartar Volga, etnis Uzbek dan Kazakh. Khan di Crimea, yang mengklaim sebagai keturunan jenghis Khan, memproklamirkan diri sebagai penguasa independen pada tahun 1441. Khan di Khazan, Astrakhan, dan Siberia juga membentuk wilayah sendiri yang otonom.

Di bawah ini adalah rangkaian Dinasti Golden Horde> :
a. Batu (1237-1256), pendiri.
b. Berke (1256-1267).
c. Mongke Timur (1267-1280).
d. Tuda Mongke (1280-1287).
e. Tula Bugha (1287-1290).
f. Turcht (1290-1313).
g. Uzbeg Khan (1313-1340).
h. Jani Beg (1340-1357).
i. Birdi Beg (1357-1359).
j. Tokhtamis (1359-1404).
k. Idhikhu Khan (1404-1419).

Menjelang hancurnya Golden Horde, berdirilah beberapa dinasti Tatar yang merdeka di antaranya :

1. Dinasti Khazan (1437-1557), pendirinya Ulugh Muhammad Khan.
2. Austrakhan (1466-1556), pendirinya Qasim Khan anak Uluhg Muhammad Khan.
3. Cremia (1420-1783), pendirinya Tash-Timur dan Ghazi Girai.


3. DINASTI ILKHAN (1256 – 1335 M)
Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya diperintah oleh dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada Hulagu[28]. Daerah yang dikuasai dinasti ini adalah daerah yang terletak antara Asia Kecil di barat dan India di timur, dengan ibukotanya Tabriz. Umat Islam, dengan demikian dipimpin oleh Hulagu Khan, seorang raja yang beragama Syamanism. Hulagu meninggal tahun 1265 M dan diganti oleh anaknya, Abaga ( 1265-1282 M) yang masuk Kristen, berkat bujukan ibunya Dokuz Khatun. Dalam istanya banyak pendeta Kristen tinggal, diantaranya sebagai penasehat politik. Pada tahun 1274, Abagha mengirim utusan khusus menghadiri Konsili Lyon. Dia sering berkirim-kiriman surat dengan Raja Louis (1266-1270) dari Prancis dan raja Charles I (1268-1285 ) dari Sicilia.

Baru rajanya yang ketiga, Ahmad Teguder ( 1282-1284M), yang masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh pembesar- pembesar kerajaan yang lain. Akhimya, ia ditangkap dan dibunuh oleh Arghun yang kemudian menggantikannya menjadi raja (1284-1291 M). Raja dinasti Ilkhan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan diusir.

Pengganti Arghun, yaitu Baidu Khan (1293-1295) berbuat serupa. Namun justru pada masa pemerintahan Baidu inilah terjadi peristiwa paling bersejarah. Putranya yang menggantikan dia, Ghazan Khan (1295-1302), walaupun sejak kecil dididik sebagai penganut Budhis yang fanatik, ketika naik tahta menyatakan memeluk Islam.

Peristiwa tersebut merupakan kemenangan besar Islam. Ghazan lahir pada tanggal 4 Desember 1271 M. Usianya ketika naik tahta belum genap berusia 24 tahun. Pada umur 10 tahun dia diangkat menjadi gubernur Khurasan. Pendamping dan penasehatnya ialah Amir Nawruz, putra Arghhun Agha yang telah memerintah selama 39 tahun di beberapa provinsi Persia di bawah pengawasan langsung Jengis Khan dan penggantinya. Amir Nawruz merupakan pembesar Mongol awal yang memeluk agama Islam secara diam-diam. Atas usaha dialah Ghazan Khan memeluk agama Islam. Ajakan memeluk Islam itu berawal ketika Ghazan sedang berjuang merebut tahta kerajaan dari saingan utamanya, Baidu. Amir Nawruz berkata, “Tuanku ! Berjanjilah, apabila kelak Allah menganugerahkan kemenangan kepada Tuan, sebagai ucapan syukur Anda mesti memeluk agama Islam !” Atas petunjuk dan nasihat Amir Nawruz itulah Ghazan Khan berhasil mengalahkan Baidu dan naik tahta pada tanggal 19 Juni 1295 (4 Sya’ban 644 H). Janjinya untuk memeluk Islam dipenuhi hari itu juga. Bersama 10.000 orang Mongol lain, termasuk sejumlah pembesar dan jenderal dia mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan Syekh Sadruddin Ibrahim, putra tabib terkemuka al-Hamawi. Setelah empat bulan memerintah, Sultan Ghazan memerintahkan tentaranya menghancurkan kuil Budha, gereja dan sinagor di seluruh kota Tabriz. D atasnya kemudian dibangun kembali masjid dan madrasah, sebab di tempat yang sama itulah dahulu Hulagu menghancurkan puluhan madrasah dan masjid yang megah. Dengan berbuat demikian dia telah menebus dosa leluhurnya kepada kaum muslimin.

Menurut Edward G. Browne (Literary History of Persia), Vol. II, 1956), dalam sejarah Persia Sultan Ghazan merupakan raja Mongol pertama yang mencetak uang dinar dengan inskripsi Islam. Syariat Islam kemudian kembali ditegakkan dan undang-undang kerajaan diganti dengan undang-undang baru yang bernafas Islam. Pada bulan November 1297 amir-amir Mongol mulai memakai jubah dan surban ala Persia, dan membuang pakaian adat nenek moyangnya. Walaupun perubahan itu menyebabkan banyak orang Mongol yang masih beragama Budha tidak puas, dan terus menerus menyebarkan intrikintrik dan meletuskan sejumlah pemberontakan, namun pemerintahan Ghazan relatif aman dan mantap. Reformasi lain yang dia lakukan ialah pengurangan pajak dan penyusutan jumlah pelacuran dan lokasinya diseluruh negeri.

Sultan Ghazan wafat pada tanggal 17 Mei 1304 dalam usia 32 tahun disebabkan konspirasi politik yang bertujuan mengangkat Alafrank, putra saudara sepupunya Gaykhatu, sebagai raja Mongol beragama Budha. Kematiannya ditangisi di seluruh Persia. Dia bukan hanya seorang negarawan muda yang bijak dan taat beribadah, tetapi juga pel indung i lmu dan sastra. Dia menyukai seni, khususnya arsitektur, karejinan dan ilmu alam. Dia mempelajari astronomi, kimia, mineralogy, metalurgi, dan botani. Dia menguasai bahasa Persia, Arab, Cina Mandarin, Tibet, Hindi dan Latin. Penggantinya, Uljaytu Khudabanda (1304-1316), meneruskan kebijakannya. Tetapi raja Mongol yang paling saleh ialah Abu Sa’id (1317-1334 M), pengganti Uljaytu. Di bawah pemerintahan Abu Sa’id ini lah orang Mongol Persia menjadi pembela gigih Islam serta pelindung utama kebudayaan Islam.

Namun, pada masa pemerintahan Abu Sa'id ( 1317-1334 M), pengganti Muhammad Khudabanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu Sa'id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.[29]

C. Hasil Peradaban Mongol Masa Islam

1. Masa Dinasti Chaghtai
Di balik sejarah gelap terdapat titik terang bagi kemajuan bangsa, setidaknya bangsa-bangsa pada waktu itu. Pada masa Timuriah, terutama masa Timur, peradaban maju pesat. Pada masa ini tercatat undang-undang dan kebijakan-kebijakan Timur di antaranya :
a. Pemberian tunjangan tetap bulanan kepada para vikhari (pengemis) agar mereka tidak mengemis lagi.
b. Penegakkan hukum yang tidak pandang bulu
c. Pembangunan Masjid, rumah sakit, sarai khana (tempat istirahat para pelancong) dan sekolah
d. Fasilitas-fasilitas untuk para petani dan fasilitas-fasilitas untuk para pedagang.
e. Pada masa Shakhrukh, Ilmu pengetahuan dan seni maju pesat, ia mendirikan sebuah Observatarium di Samarkhand. [30]


The Gur-i Amir, or Timur's Mausoleum, in Samarkand, built in 1404 Courtesy of AL-AFFA Tour[31]

2. Masa Dinasti Golden Horde
Pada Dinasti ini terutama pada masa Barka Khan, telah dibangun rumah-rumah ibadah dan perguruan-perguruan tinggi Islam pada kota-kota belahan utara.[32] Barka Khan mengganti UUD Mongol diganti dengan syari’at Islam. Selanjutnya semasa Uzbeg Khan, administrasi kenegaraan diterapkan sesuai dengan syari’ah Islam. Kesenian dan sastra berkembang pesat pada masanya. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah di bangun dengan gaya arsitektur yang indah. Menurut Ibnu Bathutah : pada periodenya Golden Horde menjadi Negara Islam yang paling sempurna.

3. Masa Dinasti Ilkhan
Di bawah pemerintahan Mahmud Ghazan dan atas kecakapan menterinya bernama Rashid al Din at Tabib, terjadi kemajuan pesat di bidang pertanian dan pembaharuan kebijakan keuangan, pembentukan petugas pencatat pajak, dan semangat dalam perencanaan program pembangunan fisik, termasuk di antaranya adalah pembangunan pusat-pusat perdagangan, jembatan dan seluruh kota. Selain yang disebutkan di atas pada periode ini, Umat Islam melahirkan ilmuwan internasional di antaranya :

a. Ibnu Taimiyah.
b. Nasir ad Din Tusi, (w. 1274 M), ahli astronomi, ahli geometri, ahli matematika. Ia mendirikan sebuah observatorium di Maragha, sebuah tempat yang terletak di Asia Kecil.[33]
c. Al Juwaini, dengan karyanya : History of the World Conquerors, memaparkan kisah Jenghis Khan dan penaklukan Iran.
d. Rasyid al Din Fazlullah, seorang ilmuwan fisika dan seorang menteri, menulis karya Compendium of histories (جوامع التواريخ), yang mengintegrasikan sejarah Bangsa Cina, India, bangsa Eropa, Muslim, dan sejarah Mongol ke dalam sebuah perspektif kosmopolitan mengenai nasib umat manusia.[34]
D. Belajar dari Sejarah

Allah SWT. Berfirman :
Artinya, ”Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.[35]

Rasulullah bersabda : ”Hampir saja, bangsa-bangsa berbondong-bondong mengerubuti kamu, sebagaimana hidangan mengundang selera pemangsanya. Kami (para Sahabat) bertanya, ”Apakah waktu itu kami minoritas, Ya Rasulullah?. Tidak, bahkan pada waktu itu kamu mayoritas, tetapi keadaan kamu hanyalah laksana buih. Rasa gentar tercerabut dalam hati musuh-musuhmu dan (sesuatu) telah menjadikan dalam hatimu ”Al Wahn”. Kami bertanya, ”Apa ”Wahn” itu? Rasul menjawab : Mencintai kehidupan / harta (dunia) dan takut mati.[36]

Sejarah mencatat bagaimana sabda Rasulullah tersebut terbukti pada mayoritas umat Islam pada masa menjelang penyerangan mongol. Dr. Muhammad Sayyid Al Wakil[37] setelah dengan panjang lebar menerangkan kisah penyerangan bangsa Tartar terhadap dunia Islam, beliau memberikan komentar dan analisa sebab-sebab kekalahan telak umat Islam, di antaranya :
1. Perpecahan dan konflik internal kaum muslimin melicinkan jalan bagi pasukan Tartar untuk menginvasi negeri-negeri Islam tanpa rintangan yang berarti.
2. Perpecahan menyebabkan hilangnya nyali dari kaum muslimin dan sebaliknya membuat nyali orang-orang Tartar semakin kuat.
3. Panatik madzhab dan adu domba dari orang munafik, Ibnu Al Qami, saorang Syi’ah Rafidhah.

Catatan yang cukup menarik tentang kekalahan tentara kaum Muslimin Baghdad itu terdapat dalam buku Tarikh al-Islam (hlm. 206- karangan sejarawan terkenal abad ke-13M Muhyiddin al-Khayyat: “Sejak bertahun-tahun lamanya telah timbul pertentangan tajam antara pengikut Sunni dan Syi ’ah, juga antara pengikut mazhab Syafi ’i dan Hanafi. Pertumpahan darah telah sering pula terjadi dalam pertikaian yang timbul diantara golongan-golongan yang saling bertentangan itu. Pada saat itu khalifah yang berkuasa ialah al-Mu’tasim, sedangkan wazirnya Muayyad al-Din al-Qami, seorang tokoh Syi’ah terkemuka.”[38]

Penyebab lainnya yang tidak kalah penting untuk dijadikan pelajaran ialah Umat Islam ketika itu terlena dengan harta benda (hubbd dunya) dan lemahnya ruhul jihad mereka karena takut mati (karahiyatul maut). Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan bagaimana sepak terjang Ibnu Taimiyah terus-terusan berdakwah untuk memotivasi mereka untuk berjihad yang pada waktu itu mereka hobi minum-minuman keras,[39] kuatnya pengaruh faham sufi dan taqlid.[40]


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, M. Islam di Asia Tengah; Sejarah Dinasti Mongol Islam, Bagaskara, Jogyakarta, 2006

----------------------. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007

Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag
Cd Al Maktabah Syamilah
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2005.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999
http://www.sambuh.com/
http://http://www.wikipedia.com//
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam (Terjmh), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.

Musyrifah Sunanto, Prof, Dr. Hj. Sejarah Islam Klasik; Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, UI-Press, Jakarta, 1984
Rasyidi, Badri., Sejarah Peradaban Islam, CV. Armico, Bandung, 1987
Sayyid Al Wakil, Muhammad, Dr. Lahmatun min Tarikhid Da’wah :Wajah Dunia Islam, terj. Fadhly Bahkri LC, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998.
USU digital library 8
Yatim, Badri, Dr., Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2002.
[1] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah (Yogyakarta: Bagaskara, 2006), hlm. 1.
[2] Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 193.
[3] http://www.wikipedia.com/Jengis
[4] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999), hlm 272.
[5] http://www.wikipedia.com/, lihat pula Ahmad Syalabi dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 99
[6] Ibid, hlm 112.
[7] Bahrum Saleh, Drs. M.Ag, JENGISKAN DAN HANCURNYA SEBUAH PERADABAN (Makalah : Sebuah Analisis Sejarah)
[8] Menurut Ira M. Mapidus dalam bukunya A. History of Islamic Societies (tejmh) hlm 639, Sejarah Masyarakat Islam di Asia Tengah sejak periode Mongol sampai periode kontemporer ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga wilayah yaitu : Pertama, Wilayah padang rumput bagian barat dan utara, yakni wilayah Golden Horde> dan penggantinya Kazakh; Kedua, Turkestan (nama modern bagi Tsansoxania dan beberapa wilayah disekitarnya) yang merupakan pusat bagi dinasti Timuriah dan pemerintahan Uzbek pada masa sesudahnya. Ketiga, wilayah sebelah barat Turkestan, yakni daerah perkotaan kabilah di sekitar oases, yang menjadi propinsi Cina Sinkiang pada akhir abad sembilanbelas.
[9] WWW. WIKI. PEDIA.COM
[10] Ibid.
[11] Bosworth, The Islamic, hlm 169 dalam Karim, Ibid, hlm 49.
[12] Ibid, hlm 50.
[13] Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Orghana telah memeluk Islam, lihat Karim, Ibid hlm 50.
[14] Ia merupakan Muslim pertama dan orang Mongol pertama yang memakai nama Islam yang memerintah pada dinasti ini.
[15] Setelah masuk Islam memakai nama Alauddin.
[16] www.itihaas.com/medieval/
[17] www.wikipedia.com
[18] Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 289.
[19] Karim, Islam di Asia Tengah …, hal. 57
[20] Hamka, dalam Badri Yatim, Ibid, hlm. 123.
[21] Batu adalah anak dari Jochi bin Jenghis khan.
[22] Disebut Golden Horde menurut Spuler asal dari kata Sira Wardu, sedang Lane poole Sir Wardah yang artinya ’kemah emas’. Selain itu warna kulit mereka juga warna emas. (lihat M. Karim, Islam di Asia Tengah …., hlm 61.
[23] Lapidus, Ibid, hlm. 642.
[24] Ibid, hlm 643.
[25] Menurut Ibnu katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah, jilid XIII hlm 249, ia adalah putra Tuli bin Jengis Khan.
[26] Ibid.
[27] Boleh jadi yang dimaksud Mankutmar oleh Ibnu katsir adalah Mongke Timur (1267-1280).
[28] lihat Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005), hlm 44. lihat pula Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (UI Press, Jakarta 1984), hlm 80.
[29] Disarikan dari buku Islam di Asia Tengah, susunan Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A dan buku Sejarah Kebudyaan Islam susunan Dr. Badri Yatim.
[30] Karim, Ibid), hlm. 101-104.
[31] http://www.sambuh.com/
[32] Musyrifah Sunanto, Ibid, hlm 198.
[33] Ibid, hlm 207.
[34] Lapidus, Ibid, hlm 430.
[35] Al Qur’an Surat Al Anfal: 46.
[36] H.R. Abu Dawud dan Ahmad
[37] Sayyid Al Wakil, Lahmatun min Tarikhid Da’wah (Wajah Dunia Islam, terj. Fadhly Bahkri LC), hlm 293.
[38] USU digital library 8
[39] Ibid., jilid XIV, hlm 9.
[40] Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam (CV. Armico, Bandung, 1987), hlm. 91.

Pergeseran Epistemologi Tafsir


Judul Buku : Pergeseran Epistemologi Tafsir
Penulis : Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Penyunting : Saefuddin Zuhry Qudsy
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Maret 2008
Tebal Buku : xiii + 183


Buku ini ditulis oleh orang yang ahli dibidangnya, yaitu Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag., direktur Lingkas Studi al-Qur’an Yogyakarta. Gelar doktor ia raih di PPs IAIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi Tafsir. Oleh karena, itu ia sangat getol menggeluti berbagai macam yang berhubungan dengan tafsir di antaranya buku Studi Al-Qur’an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir, Aliran-Aliran Tafsir: Madzahibut Tafsir Periode Klasik Hingga Kontemporer, dan lain-lain.

Penulis buku dengan keuletan dalam penelitiannya mencoba mengeksplorasi tentang pentingnya perubahan dan pergeseran epistemologi dalam tafsir. Sebab tanpa keberanian mengubah paradigma dan epistem, kajian tafsir tidak akan berkembang dengan baik.

Pada bagian pertama, penulis memaparkan hakikat dan orientasi penafsiran al-Qur’an. Ada berbagai macam paradigma untuk menemukan hakikat tafsir, yaitu paradigma teknis, paradigma fungsional dan paradigma akomodatif. Penulis menegaskan tesis bahwa hakikat tafsir bisa dilihat dari dua paradigma, yaitu tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Tafsir sebagai proses dan produk meniscayakan adanya dialektika antara wahyu, akal dan realitas (konteks). Tafsir sebenarnya merupakan hasil interaksi antara teks yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas, melalui peranan akal penafsir sesuai dengan kadar kemampuannya.

Pada bagian kedua, berdasarkan kerangka teori the history of idea of Qur’anic interpretation yang diramu dari teori Ignaz Golziher, Jurgen Habermas dan Kuntowijoyo, penulis menyimpulkan bahwa dalam sejarah penafsiran al-Qur’an telah terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift) epistemologi.
Dalam bagian ini, penulis memaparkan tiga era penafsiran al-Qur’an yaitu era formatif, era afirmatif dan era reformatif.

Era formatif berbasis pada nalar-nalar mitis, yang terjadi pada era klasik dimana penafsiran al-Qur’an lebih banyak didominasi oleh model tafsir bil ma’tsur (riwayat) yang kental dengan nalar bayani. Nalar mitis dalam konteks ini adalah sebuah cara berpikir yang kurang mengedepankan kritisisme ketika menerima sebuah produk penafsiran. Perkataan Nabi, perkataan sahabat dan tabi’in seolah jadi mitos bagi sumber penafsiran. Penulis buku tafsir hanyalah berperan sebagai kolektor bagi perkataan dan perbuatan Nabi dan sahabatnya tanpa adanya nalar kritis. Dalam periode ini produk tafsir bertindak sebagai ”panglima” dan ”hakim” terhadap realitas.

Era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis yang terjadi pada Abad Pertengahan. Era ini awalnya memang berangkat dari ketidakpuasan terhadap model tafsir bil ma’tsur yang dipandang kurang ’memadai’ dan tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an. Hal itu kemudian memunculkan tradisi tafsir bir ra’yi (dengan rasio atau akal). Namun, tradisi penafsiran tersebut kemudian banyak didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi (madzhab, politik penguasa atau keilmuan tertentu). Akibatnya, muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan sektarianisme madzhab yang berlebihan yang cenderung bersikap truth claim di satu sisi, dan saling mengkafirkan di sisi lain.

Tafsir era reformatif dengan nalar kritis. Ada empat sub bahasan yang menjadi sentral pembahasan penulis dalam bagian ini, yaitu Asumsi dan Paradigma, Karakteristik Tafsir Era Reformatif, Sumber, Metode dan Validitas Penafsiran. Pada awal pembahasan penulis memaparkan bahwa Era reformatif dimulai dengan munculnya era modern di mana tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhimul Qur’an, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dengan al-Manar-nya terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran para ulama dulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu kemudian dilanjutkan oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, Hasan Hanafi san sebagainya. Produk penafsiran masa lalu yang selama ini dikonsumsi umat Islam mulai dikritisi dengan nalar kritis, yang mereka cenderung melepaskan diri dari model-model berpikir madzhabi. Bahkan sebagian mereka juga memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Mereka kemudian membangun sebuah epistemologi tafsir yang dipandang mampu merespons perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, untuk kepentingan transformasi umat. Di era reformatif yang berbasis pada nalar kritis, posisi al-Qur’an (text), realitas (kontext) dan penafsir (reader) berjalan sirkular secara triadik dan dinamis. Pendekatan Hermeneutik akhirnya menjadi tren tersendiri.

Selanjutnya, pada bagian ketiga, untuk mempermudah pemahaman pembaca dalam buku ini penulis memberikan contoh model penfsiran mitis, ideologi dan kritis. Di buku ini diterangkan contoh penfsiran mitos tentang menstruasi, penafsiran tentang ar-Ra’d (guruh) dan tafsir cerita mitis tentang Harut dan Marut. Bagaimana Konsep Wahdatul Wujud, konsep Hulul dalam Tasawwuf dll. dengan model penafsiran nalar ideologi serta Konsep Nusyuz dengan penafsiran model nalar kritis akan ditemukan oleh pembaca dalam buku ini.

Demikian buku ini ditulis dengan nalar kritis dan sistematik, juga dilengkapi indeks. Sesuai dengan judul, dalam buku ini penulis mencoba menawarkan model baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan demikian, para pembaca akan mendapatkan tidak sekedar model periodisasi baru dalam corak penafsiran tetapi akan lebih banyak dan bertambah wawasan dengan membaca buku ini. Namun, bagi pembaca yang mempunyai nalar kritis akan menemukan dalam buku ini kesan dikhotonomi dan cenderung mengesampingkan turats produk tafsir klasik sehingga mengundang perdebatan di dalamnya. Apakah anda termasuk orang yang suka membaca dan mempunyai nalar kritis? Buku ini adalah bacaan anda selanjutnya.