Penegak Kebenaran

Melatih diri untuk terus menuntut ilmu dan memberikan informasi yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan dengan harapan akan menjadi Penegak Kebenaran yang diridloi Allah SWT.

Pengusung Peradaban

Menjadikan madrasah, pesantren, dan tempat pendidikan lainnya sebagai tempat thalabul ilmi agar terbentuk generasi muda yang kuat, cerdas, dan taqkwa sehingga suatu saat dapat menjadi mujahid masa depan dan menjadi Pengusung Peradaban yang bermoral dan berakhlaq Islami.

Penerang Kegelapan

Bekerja keras untuk selalu mengamalkan dan mengimplementasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan lain sebagai salah satu kewajiban muslim dengan harapan dapat menjadi Penerang Kegelapan. Berbagi informasi dalam kebaikan dan takwa serta saling menasihati dalam kebenaran

Memperkuat Aqidah

Melatih generasi muda sedini mungkin melalui berbagai media pendidikan exact dan non-exact sebagai bekal hidup di masa depan untuk mewujudkan penjuang masa depan yang mandiri, kuat, disiplin, dan amanah.

Disiplin

Menyalurkan bakat dan mengembkangkan kemampuan generasi muda melalui berbagai kegiatan positif dengan harapan dapat tertanam sikap persaudaraan, persahabatan, dan disiplin.

Search

Urgensi Pendidikan Islam di Rumah dan di Sekolah

Menurut Ramayulis (Metodologi Pendidikan Agama Islam, hlm. 49) dalam literatur kependidikan Islam, pendidik biasa disebut sebagai berikut : 1). Ustadz, yaitu seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesinya, ia selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara-cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zaman; 2); Mu’allim, berasal dari kata dasar Ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Ini mengandung makna bahwa guru adalah orang yang dituntut untuk menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang diajarkannya. 3); Murabby, berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan sebagai Rabb al-’alamin dan Rabb al-Nas yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia.

Dilihat dari pengertian ini maka guru adalah orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. 4); Mursyid, yaitu seorang guru yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan atau kepribadian kepada peserta didiknya; 5). Mudarris, berasal dari kata darrasa yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih dan mempelajari. Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya; 6). Muaddib berasal dari kata Adab, yang berarti moral, etika dan adab. Artinya guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa depan.

Dari keenam sebutan untuk pendidik, Al-Attas, seorang ahli pendidikan dari Malaysia memilih Ta’dib atau Muaddib sebagai kata yang tepat untuk makna pendidikan (pendidik) karena Ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain dari itu, kata ta’dib erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam sisi pendidikan. (dalam Hasan Langgulung, hlm. 4).

Islam dengan dasar-dasarnya yang universal dan aturan-aturannya yang abadi mendorong orang tua, sebagai pendidik pertama untuk senantiasa mengutamakan perhatian terhadap anak-anak mereka dan mengawasinya dalam segala aspek kehidupan. Allah swt. berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Al Tahrim (66):6).

Bagaimana seorang pendidik menjaga keluarga dan muridnya dari api neraka jika mereka tidak pernah memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, tidak mengajarkan adab, sopan santun, dan mereka tidak melarang anak-anaknya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma yang ada?!

Ali R.A. dalam mengomentari surah Al Tahrim: 6 mengemukakan : ”Ajarilah mereka dan didiklah mereka”. (Al Faqih wa Al Muttafaqihu karya Al Khatib Al Bagdady, juz 1, hlm. 191). Ibnu Umar pernah berkata kepada seseorang : ”Perbaguslah pendidikan anakmu, karena engkau akan dipinta pertanggungjawaban tentang pendidikan dan pengajarannya ... (Al Tafaqquh ala Al’Iyal, juz 1, hlm. 344).

Abu Lubabah Husein dalam bukunya “Al Tarbiyah fi Al Sunnah Al Nabawiyyah” dalam bab “min aena tabda’u al tarbiyyah al muhammadiyah” mengemukakan bahwa pendidikan dimulai sejak anak pertama kali dapat membuka matanya dalam buaian ibunya. Oleh sebab itu, keluarga merupakan madrasah utama dan terutama yang diperhatikan oleh Islam dalam hal pendidikan. (Al Tarbiyah, hlm. 28).
Pendidikan merupakan sebaik-baik pemberian orang tua terhadap anaknya, selain hadis sebagaimana dalam judul pembahasan, terdapat sejumlah hadis yang menguatkan makna dan kedudukan hadis di atas, diantaranya hadis:

1. Dalam Sunan Ibn Majah no. 3661 tercatat Rasulullah saw. bersabda:

أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ 

“Hormatilah anak-anakmu dan baguskanlah adab (pendidikan) mereka”.

2. Dalam Al Mu’jam Al Ausath ada hadis sebagai berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَا وَِرثَ وَالِدٌ وَلَدًا خَيْرًا مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ »

”Tidak ada peninggalan orang tua yang lebih baik bagi anaknya kecuali pendidikan yang baik”. (Thabrany, juz 8, hlm. 335).

Alangkah pentingnya pendidikan terutama pendidikan sopan santun sehingga Abu Zakaria Al ’Anbary mengemukakan: ”Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, Adab tanpa ilmu bagaikan ruh tanpa jasad...(Al Khatib Al Bagdady, juz 1, hlm. 13).

Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt., "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak. Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah. (Al-Ghazali, "Pilar-pilar Ruhani", hlm. 17-20).

Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; (2) tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah; (3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. ( Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 34).

Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyya; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.

Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu: 1). Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya. 2). Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitabullah. Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah).

Ilmu yang wajib yang harus diajarkan sejak dini menurut Al Ghazali, di antaranya : 1). shalat, puasa, zakat dan haji; 2). Aqidah; dan 3). Akhlak, ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan derajat hidup manusia. (Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, hlm. 20).

Pandangan Imam Ghazali di atas sejalan dengan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. kepada para orang tua, pendidik supaya mereka menyuruh dan mengajari shalat kepada anaknya sejak usia dini karena shalat merupakan ajaran pokok bagi umat Islam. Dari sini, shalat menjadi pemicu indikator bagi beresnya amal mereka.

Pendidikan Agama di Sekolah

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa salah satu tujuan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Target ideal yang bernama pencerdasan tersebut merupakan bentuk idealisasi di dalam pengembangan peradaban dan kemajuan bangsa. Hal ini sangat jelas, terbingkai di dalam tujuan esensial yang ingin dicapai, yaitu menciptakan manusia seutuhnya, yang ciri utamanya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang beriman dan bertakwa merupakan kualitas keseimbangan yang menjadi substansi dari pengembangan pendidikan. Dengan begitu, proses pendidikan yang dilakukan–dalam konteks ini–dapat menjadi medium konkrit di dalam membentuk pribadi utuh yang mempunyai kualitas iman dan ketakwaan yang dinamis.


Di sinilah insan kamil, menurut Syamsul Arifin, akan menjadi idiom baru bagi terciptanya masyarakat beradab sebagai tonggak di dalam mewujudkan cita-cita umum masyarakat madani (civil society). Sebab, akar fundamental dari masyarakat madani pada hakikatnya bertumpu pada kesadaran elemen di dalamnya; untuk dan demi cita-cita besar menjadi bangsa terdidik dan menjunjung tinggi semangat keadaban, yang pada gilirannya akan mampu memunculkan satu prinsip terciptanya masyarakat berperadaban dengan memegang setinggi-tingginya nilai luhur kemanusiaan.

Nilai-nilai luhur itu mesti dibina dan dijaga serta dijalankan secara konsisten. Pengejawantahan nilai-nilai luhur tersebut terwujud dalam pendidikan agama yang diyakini akan mewujudkan cita-cita pembangunan yaitu pembangunan manusia seutuhnya. Manusia yang seimbang antara asupan jasmani dan asupan rohani. Oleh sebab itu, diperlukan acuan yuridis-formal dalam pengaturan pelaksanaannya.

Acuan yuridis-formal yang dimiliki tentang konsistensi dalam upaya pemaknaan dan pemberdayaan pendidikan juga di atur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan tegas memberikan tempat yang sangat terhormat terhadap pendidikan agama. Dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi wajib memuat pendidikan agama.

Dalam penjabaran pasal 37 di atas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 yang begitu ideal dan penuh harapan dari pendidikan agama ini. Betapa tidak, dalam pasal 5 dari ayat 3 s.d. 7 disebutkan bahwa: (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain; (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.

Idealisme yang tersirat maupun yang tersurat dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut telah menempatkan pendidikan (agama) sebagai salah satu piranti dan kekuatan utama di dalam proses pembentukan manusia seutuhnya; manusia yang selain memiliki kecerdasan intelektual, juga adab (moral, etika) yang kaffah serta sepiritual yang tinggi.

Sejauhmana idealisme itu dapat diwujudkan? dan sejauhmana pelaksanaan UU dan Peraturan itu dilaksanakan oleh dan terutama pembuatnya. Hal ini menuntut keseriusan dari berbagai pihak dalam mengimplementasikannya. Karena dengan upaya implementasi yang serius lambat laun cita-cita besar dari pendidikan agama itu akan terwujud dengan sendirinya. Hal ini menuntut keseriusan dan daya dobrak yang tinggi mulai dari pemerhati sampai pelaksana lapangan pendidikan Islam. Karena dengan UU dan Peraturan tersebut jika hasilnya tidak signifikan bahkan bangsa ini semakin bobrok dan tidak bermoral, ujung-ujungnya yang disalahkan adalah pendidikan agama terutama pendidikan agama Islam yang dicap tidak berhasil memberikan bekas pada moral bangsa ini.

Oleh karenanya, menurut Syamsul Arifin, pendidikan (Islam) pada gilirannya akan terasumsi tidak mampu lagi menjadi jembatan untuk mewujudkan keutuhan pribadi sekaligus memberikan jalan lempang bagi pembebasan diri dari belenggu nafsu hewaniyahnya. Artinya, pendidikan Agama (Islam) mengalami kegagalan di dalam penguatan nilai-nilai moral kemanusiaan. Akibatnya, keadaban (civility) dan kesadaran kreatif yang notabene merupakan ciri sejati dari civilize society yang secara substansial harus dibentuk melalui kekuatan pendidikan hanya menjadi mimpi yang kerontang. Pendidikan Agama kemudian bisa terpersepsi sebagai term mandul dan tidak kuasa dalam mengubah sikap eksklusif ke arah sikap baru yang inklusif.

Selanjutnya, keadaan seperti itu melenggangkan jalan bagi kaum sekuler untuk menolak Pendidikan Agama di sekolah-sekolah. Oleh sebab itu, perhatian yang mendalam dari berbagai pihak yang setuju akan pentingnya pendidikan agama harus benar-benar serius dalam mengawal pelaksanaan UU dan Peraturan tersebut demi terwujudnya tujuan pendidikan Islam yang akhirnya mengarah pada tujuan Islam sendiri yaitu rahmatan lil ’alamin. Di sisi lain, pelaksanaan dan penerapan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum masih kurang perhatian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebagai kasus di daerah yang notabene 95% muslim tetapi hampir lima puluh persen di sekolah-sekolah terutama sekolah dasar tidak ada guru agama yang secara khusus dan berkopetensi mengampu siswa-siswa tersebut, guru agama kadang dirangkap oleh guru olah raga atau guru lainnya. Pada kasus yang lain, di suatu sekolah terdapat guru agama yang diangkat langsung oleh

Pemerintah tetapi ia secara kompetensi belum memenuhi standar yang diharapkan, terutama faktor teladan. Jadi sekolah-sekolah umum, di samping jam pendidikan agama dirasa masih kurang, faktor lainnya adalah kurangnya pengawasan dari pihak terkait mengenai pelaksanaan di lapangan sehingga dekadensi moral semakin tidak terbendung.

Disinilah, letak dan peranan penting lembaga dan organisasi pendidikan Islam dan pendidik Islam dalam memajukan dan memacu implementasi cita-cita ideal dari pendidikan bangsa khususnya pendidikan agama Islam demi perkembangan kehidupan serta mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan seimbang duniawi dan ukhrawi. Jika tidak, maka tamatlah pendidikan agama di sekolah-sekolah dan hancurlah bangsa ini. Wallahu A’lam