Penegak Kebenaran

Melatih diri untuk terus menuntut ilmu dan memberikan informasi yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan dengan harapan akan menjadi Penegak Kebenaran yang diridloi Allah SWT.

Pengusung Peradaban

Menjadikan madrasah, pesantren, dan tempat pendidikan lainnya sebagai tempat thalabul ilmi agar terbentuk generasi muda yang kuat, cerdas, dan taqkwa sehingga suatu saat dapat menjadi mujahid masa depan dan menjadi Pengusung Peradaban yang bermoral dan berakhlaq Islami.

Penerang Kegelapan

Bekerja keras untuk selalu mengamalkan dan mengimplementasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan lain sebagai salah satu kewajiban muslim dengan harapan dapat menjadi Penerang Kegelapan. Berbagi informasi dalam kebaikan dan takwa serta saling menasihati dalam kebenaran

Memperkuat Aqidah

Melatih generasi muda sedini mungkin melalui berbagai media pendidikan exact dan non-exact sebagai bekal hidup di masa depan untuk mewujudkan penjuang masa depan yang mandiri, kuat, disiplin, dan amanah.

Disiplin

Menyalurkan bakat dan mengembkangkan kemampuan generasi muda melalui berbagai kegiatan positif dengan harapan dapat tertanam sikap persaudaraan, persahabatan, dan disiplin.

Search

Adalah Sahabat Dalam Timbangan Syiah

Sejak kemunculannya syiah telah berupaya meyakinkan pengikut dan lawan-lawannya bahwa tidak semua sahabat itu ‘adalah. Tetapi di antara mereka ada yang sholeh dan ada yang thaleh. Bagaimana hujjah-hujjah mereka?

Berikut saya sampaikan ringkasan dari kitab : “As Sahabat fil Qur’an was Sunnah wat taarikh” susunan Markaz Al Risalah (www.aqaed.com).

A. Ayat-ayat Qur’an Tentang Sahabat

1. Ayat-ayat yang memuji mereka dan pelurusan maknanya
Para penulis mengenai keadilan sahabat telah menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dalil bahwasanya Allah swt. telah memuji para sahabat dalam kitab-Nya secara umum. Di antaranya:
a. Ayat Pertama,

كُنتُمْ خيرَ أُمَّةٍ أُخرجَتْ للنّاسِ تأمُرُونَ بالمعروفِ وتَنهَونَ عَنِ المنكرِ وتؤمنونَ بالله

Dengan ayat ini mereka mengatakan :

1) Ayat ini turun tentang muhajirin sebagaimana riwayat dari Ibn Abbas[1]
2) Dari Ikrimah dan Muqathil : ayat ini turun tentang Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Salim maula Abu Hudzaifah. Selain itu ayat ini turun bahwasanya Malik bin Shaif dan Wahab bin Yahudza (dua orang Yahudi) menyatakan bahwa agama kami lebih baik daripada apa yang kamu dakwakan, dan kami lebih baik daripada kamu, maka turunlah ayat ini.[2]

Tetapi jika perkataan Ibn Abbas yang kuat, menjadilah ia muqayyad, sehingga ayat ini secara qathi’ tidak mencakup seluruh muhajirin yang di dalam hatinya terdapat penyakit.

Selanjutnya para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna ayat tersebut, dan disimpulkan:

1) Sesungguhnya sifat-sifat yang tinggi dan keistimewaan yang sempurna ini tidak mencakup secara mutlak para sahabat.[3]
2) Dengan menganalisis pendapat-pendapat, kita dapati bahwasanya pendapat kedua yang lebih dekat kepada makna yang dimaksud, yaitu bahwasanya ayat ini mencakup seluruh umat dan tidak terhadap individu-individu. Dr. Abdul Karim An Namlah menguatkan makna ini dengan mengatakan : tidak boleh menggunakan lafadz ini dalam dua makna yang bertentangan. Maka yang dimaksud adalah seluruh umat (dari zaman ke zaman), dan tidaklah dimaksud perindividu dari mereka (para sahabat).[4]

b. Ayat Kedua
....dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.[5]

Allah menjadikan kaum muslimin sebagai “umatan wasathan” antara umat-umat terlebih Yahudi dan Nashrani. Maka “Al Ummah Al Wasath” jauh dari kekurangan dan ekstrim dalam keyakinan, dan dalam mencontoh para Nabi. An Naisasbury mengatakan “Mereka pertengahan dalam agama antara “ifrat dan tafrit”, antara ekstrim (berlebihan) dan mengurangi dalam bersikap kepada para Nabi sebagaimana halnya Nashrani dan Yahudi.[6]

Al Fadl At Thabarisy mengatakan : ... Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan umat Nabi Muhammad saw. menjadi umat yang adil dan sebagai washitah (perantara) antara Rasul dan manusia. Dengan demikian apabila pada umat ini tidak terdapat sifat demikian, maka bagaimana mereka semua berhak menyandang predikat sebaik-baik umat? Maka jawabannya : sesunggunya yang dimaksud dengannya adalah orang yang mempunyai sifat-sifat itu (adil dan moderat), dan pada setiap masa terdapat orang-orang yang bersifat seperti ini. (secara individu, pen).[7]

Ahmad Musthofa al Maraghi menjadikan syarat adil dan wasathiyah yaitu mengikuti sirah Rasulullah saw. , dengan demikian bagi orang yang tidak mengikutinya berarti ia keluar dari sifat umat ini.[8]

Al ‘Alamah At Thobaathoba’i mengkhususkan sifat ini untuk para wali yang suci bukan yang lainnya.

ومن المعلوم أنّ هذه الكرامة ليست تنالها جميع الاُمّة، إذ ليست إلاّ كرامة خاصة للاَولياء الطاهرين منهم

Dengan demikian ayat ini tidak menunjukkan keadilan sahabat seluruhnya.

c. Ayat ketiga,
...dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[10]

Sebagian ulama menjadikan dalil dengan ayat ini terhadap kesucian dan keadilan sahabat perindividu. Diantara mereka adalah Abdurrahman Ar Razy.[11]

Bantahan : ayat ini tidak ada hubungannya dengan masalah keadilan sahabat. Beristidlal atas ‘adalah seluruh sahabat dengan ayat ini adalah tidak sah, dengan alasan-alasan berikut ini :


Pertama, Mayoritas para mufassir dan mutakallimin berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “sabilul mukminin” adalah seluruh umat. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Al Maliky dan As Subky.[12]

Kedua, Yang dimaksud dengan “sabilul mukminin” ialah bersatu (ijtima’) atas keimanan dan ketaatan kepada allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya yang demikian itu sebagai langkah awal untuk menjaga kesatuan langkah mereka.[13]

Ketiga, “Sabilul Mukminin” keadaannya harus bersih dari dosa dan permusuhan, sebagaimana Al Qur’an menyatakan itu (lihat al Maidah:2).


Keempat, Para sahabat telah terjadi di antara mereka peperangan di antaranya perang jamal dan perang Shiffin. Dan yang wajib adalah mengikuti yang sesuai dengan hak dan syari’at. Dan tidak mungkin mengikuti seluruh jalan mereka.

Ibn Qoyyim Al Jauziyah mengisyaratkan kemustahilan memperoleh bagian “sabilul mukminin” adalah untuk seluruh individu. Ia menyatakan : ”Sesungguhnya lafadz “umat” dan lafadz “sabulul mukminin” tidak mungkin ditujukan untuk seluruh personal umat dan personal mukmin.[14]

d. Ayat keempat
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.[15]

Al Khotib Al Bagdady dan Ibn Hajar berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan atas keadalahan sahabat dan kesucian mereka seluruhnya.[16] Dan mereka menjadikan ayat ini menyeruruh untuk seluruh sahabat walaupun mereka tidak pernah mengikuti peperangan dengan Rasul sekalipun. Keumuman ini memerlukan dalil, dan tidak cukup dengan mengatakan “إنَّ العبرة بعموم اللفظ لابخصوص المورد. Karena ayat ini turun secara khusus untuk mereka yang mengikuti perang Badar saja.

فكيف نعمّمها على جميع الصحابة حتى الذين كانوا يقاتلون في صف المشركين ثم أسلموا فيما بعد؟

Dari Imam Muhammad Al Baqir a.s. “sesungguhnya ayat ini turun tentang Ali r.a.[17]

e. Ayat kelima,
...orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[18]

Al Khatib Al Baghdady, Ibnu Hajar Al ‘Asqolany, dan Ibnu Najjaar beristidlal dengan ayat ini merupakan keridhaan Allah ta’ala atas seluruh sahabat walaupun mereka masuk Islam setelah itu (Muhajirin dan Anshar), atau mereka murtad kemudian kembali kepada Islam.[19]

Dibantah :
Istidlal ini bertentangan dengan kenyataan. Karena yat turun khusus tentang kaum muhajirin dan anshar dan para pendahulu mereka; tidak termasuk orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang munafik. Adapun pengikut-pengikut mereka maka disyaratkan dengan ihsan, baik ihsan dengan ucapan sebagaimana pendapat Al Fakhrurrozi[20], atau keadaan mereka yang berprilaku ihsan baik dalam perbuatan maupun ucapan, sebagaimana dikatakan oleh Al Maraghi :”Apabila mengikutinya hanya dhahir saja maka mereka adalah munafik, orang-orang maksiyat bukan muhsinin; apabila mengikutinya dengan ihsan pada sebagian amal-amal mereka dan maksiat pada sebagian yang lain maka mereka adalah orang-orang yang berdosa.[21]

Dengan demikian orang yang tidak berihsan dengan ucapannya atau tidak mengikuti mereka dengan ihsan maka ia tidak berhak mendapat ridha Allah ta’ala. Dari urusan mereka mencela Imam Ali ra. dan menghinanya maka ayat ini tidak untuk mereka. Muawiyah telah berwasiyat kepada Mughirah bin Syu’bah:

لا تترك شتم عليّ وذمّه)، فكان المغيرة (لا يدع شتم عليّ والوقوع فيه

Bagaimana mereka mendakwakan diri mendapat ridha Allah sedangkan mereka telah menyalahi syaratnya yaitu mengikutinya dengan ihsan? Dst.

Sehubung dengan itu maka mendapat ridha Allah itu disyaratkan dengan akhir yang baik, sebagaimana riwayat dari Barra bin ‘Azib ketika dikatakan kepadanya :

طوبى لك صحبت النبي صلى الله عليه وآله وسلم وبايعته تحت الشجرة)، فقال للقائل: (... إنّك لا تدري ما أحدثنا بعده

“Bahagialah Engkau, bersahabat dengan Nabi saw. dan Engkau berbai’at kepadanya di bawah pohon”. Maka Barra berkata kepada orang itu “… kamu tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya…[23]

وقول رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «لا ترجعوا بعدي كفّاراً يضرب بعضكم رقاب بعضٍ

Bersambung... silahkan komentari dulu!

[1] تفسير القرآن العظيم، لابن كثير 1: 399. والدر المنثور، للسيوطي 2: 293. وبنحوه في الجامع لاحكام القرآن، للقرطبي 4: 170.
[2] أسباب نزول القرآن، للواحدي: 121
[3] تفسير المنار 4: 58 ـ 59
[4] مخالفة الصحابي للحديث النبوي الشريف: 82
[5] Al Baqarah : 143
[6] تفسير غرائب القرآن 1: 421
[7] مجمع البيان 1: 224
[8] تفسير المراغي 2: 6
[9] الميزان في تفسير القرآن 1: 321
[10] An Nisa: 115
[11] الجرح والتعديل، لعبدالرحمن الرازي 1: 7
[12] المقدمة في الاُصول، للقصّار المالكي: 45. والابهاج في شرح المنهاج، للسبكي 2: 353
[13] الميزان في تفسير القرآن 5: 82
[14] أعلام الموقعين 4: 127
[15] An Anfal: 64
[16] الكفاية في علم الرواية: 46. والاِصابة في تمييز الصحابة 1: 6
[17] شواهد التنزيل، للحسكاني 1: 230
[18] At Taubah: 100
[19] الكفاية في علم الرواية: 46. والاصابة 1: 6. وشرح الكوكب المنير 2: 472
[20] التفسير الكبير 16: 172
[21] تفسير المراغي 11: 11
[22] الكامل في التاريخ 3: 472
[23] صحيح البخاري 5: 160
[24] مسند أحمد 6: 19