QUO VADIS AHMADIYAH
Ditulis oleh Taraweh - Thursday, March 29, 2018. AHMADIYAH,QUO VADIS,QUO VADIS AHMADIYAH - No comments
QUO VADIS AHMADIYAH
Oleh : Shiddiq Amien
Tulisan Ust Shiddiq Amien (Rahimahullohu) ini sengaja kami muat kembali,
untuk mengingatkan ikhwatu iman bagaimana sepak terjang dan gigihnya
orang-orang Ahmadiyah dan para pembelanya sampai sekarang berjuang untuk diakui
sebagai bagian dari ajaran Islam dan tidak menjadi keyakinan yang menodai
ajaran Islam itu sendiri.
Mantan Presiden petama RI-
Ir.Soekarno- dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, Gunung
Agung Jakarta, 1963, hal. 345 menulis : “ Saya tidak percaya bahwa Mirza
Ghulam Ahmad seorang nabi, dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid
(pembaharu) “. Jauh sebelum Bung Karno
Ustadz A.Hassan pada tahun l930-an telah menunjukkan kesesatan Ahmadiyah
melalui perdebatan fenomenal dengan tokoh Ahmadiyah, Abubakar Ayub.
Muhamadiyyah juga telah menyatakan bahwa yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi dalah kafir.
Di Pakistan yang merupakan tempat lahir Ahmadiyah, pertentangan dan konflik
antara umat Islam dengan Ahmadiyah berlangsung sejak Mirza masih hidup. Pada
tahun 1933 saat Pakistan masih bersatu dengan India, para ulama dan masyarakat
muslim turun ke jalan-jalan di Lahore menuntut agar Ahmadiyah dinyatakan
sebagai non muslim. Pergolakan sosial waktu itu memaksa penguasa Hindu untuk
meminta pendapat para intelektual, antara lain Sir Muhammad Iqbal. Menjawab
pertanyaan Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Mentri India waktu itu , Iqbal
menegaskan bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya
sebagai nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat terhadap
Islam. Iqbal menangkap banyak kemiripan antara Ahmadiyah dengan Babiyah di
Persia (Iran), yang pendirinya mengklaim
mendapat wahyu. Menurut Iqbal kedua tokoh aliran sesat ini merupakan alat
politik “belah bambu” kolonial Inggris di India, dan imperialis Rusia yang
menjajah Asia Tengah dan sebagain Persia. Akidah mereka adalah kepasrahan
kepada penguasa penjajah (political servility). Jika pemerintah Rusia
mengizinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, pemerintah
Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat kegiatan mereka di Woking, tenggara
England. ( Islam and Ahmadism,
Islamabad, 1990:8).
Pada 1953, konflik kembali terjadi. Syed Abul A’la Maududi bersama
masyarakat Pakistan kembali mendesak pemerintah Pakistan untuk menetapkan
Ahmadiyah bukan Islam. Pengadilan militer Pakistan waktu itu malah memenjarakan
Maududi. Dua puluh tahun kemudian, pemerintah Pakistan tidak melihat lagi cara
yang terbaik dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah, kecuali mengakomodasi
tuntutan umat Islam dengan menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Keputusan
itu dituangkan dalam amandemen Konstitusi Pakistan tahun 1973 dan diumumkan
oleh Majelis Nasional Pakistan tahun 1974.
Konfrensi Organisasi-Organisasi Islam Se-Dunia yang diadakan di Makkah
Al-Mukarramah pada tanggal 14-18 Rabiul Awwal 1394 H/ 1973M telah menetapkan bahwa Ahmadiyah itu kafir
dan di luar Islam.
Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili, ulama anggota Majma’ Fiqh Al-Islami, dalam kitab
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (8:5082) mengutip keputusan Fatwa Majma’Fiqh
Al-Islami tentang Al-Qadiyaniyah, disebutkan bahwa Majlis Majma Fiqh Al Islami
dari Munadzamah Al Mu’tamar Al Islami dalam Muktamar ke 2 di Jeddah, 10-16
Rabi’u Tsani 1406 H/ 22-28 Desember 1985, setelah mengkaji secara mendalam
telah menyatakan bahwa Ahmadiyah baik Qadianiyah maupun Lahoriyah adalah
murtad, di luar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas ke-2 tgl 26
Mei s/d 1 Juni 1980 juga menetapkan hal yang sama bahwa Ahmadiyah di luar
Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa itu kemudian dipertegas kembali pada Munas
MUI Juli 2005. Terakhir pada tanggal 16 April 2008 Badan
Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) menyatakan bahwa
Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai kelompok sesat dan merekomendasikan perlunya
diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung dan Mentri Dalam Negeri sesuai dengan UU No.1/PNPS/1965 agar Ahmadiyah
menghentikan segala aktifitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Atho Mudzhar, yang juga ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan
Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota
tim pemantau telah bertemu 277 warga Ahmadiyah, ternyata ajaran Ahmadiyah tetap
menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap diyakini sebagai
nabi setelah Nabi Muhammad saw. Mereka juga meyakini bahwa kitab Tadzkirah adalah
kumpulan wahyu yang diterima MGA.
Ahmadiyah di Indonesia sepertinya begitu percaya diri, mengingat banyak
pihak yang dengan gigih membela kesesatan mereka
(sampai kini- red). Majalah Mingguan Tempo edisi Mei 2008 meminta
agar para ulama segara meminta maaf kepada penganut Ahmadiyah. Adnan Buyung
Nasution salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden dengan gaya
meledak-ledak dan provokatif sepertinya siap mati demi membela ajaran nabi
palsu made England ini. Ade Armando dalam tulisannya di Majalah Madina dalam
judul : Preman Berjubah, Pemerintah dan Ahmadiyah, juga tampil sebagai
tameng bagi Agama Ahmadiyah. Yang dia maksud dengan “preman berjubah” (sebuah
istilah yang dimunculkan pertama kali oleh Prof.Dr.Syafi’i Ma’arif dalam kolom
Resonansi Republika ) tentu saja umat Islam yang menolak Ahmadiyah. Padahal
yang menetapkan Ahmadiyah kafir, di luar Islam, adalah Majma’ Fiqh Al-Islami,
Organisasi Ulama Islam Internasional. Tak ketinggalan juga Gus Dur masuk dalam jajaran
ini, di sela-sela acara tasyakur PKB kubunya di hotel Sheraton Bandara Soekarno
Hatta, Ahad 4/5, menyatakan siap melindungi Ahmadiyah dan siap menjadi saksi
ahli mendampingi Ahmadiyah dalam proses hukum. Selain itu ada juga mereka yang
menamakan dirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKBB) yang di dalamnya ada : LBH Jakarta, JIL, Yayasan Anand Asram, Pastor,
dsb. yang mendukung eksistensi Ahmadiyah dan mengecam fatwa sesat MUI.
Para pendukung ajaran sesat ini selalu berlindung di balik HAM. Menurut
mereka penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh Konstitusi. Melarang
Ahmadiyah berarti melanggar Hak Asasi Manusia. Di sini nampak sekali mereka telah melakukan penyalah gunaan
kebebasan (abuse of freedom) dan HAM. Pembelaan mereka bukan atas
kebebasan beragama, tapi kebebasan menodai dan merusak agama. Apa yang
diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah
orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasan mendirikan rumah, akan
tetapi lokasinya di dalam rumah orang lain, dan konsekwensinya merusak rumah
yang sudah lebih dulu ada ! Dengan meyakini MGA sebagai nabi pasca Nabi
Muhammad saw dan meyakini Tadzkirah sebagai wahyu, MGA dan Ahmadiyah telah
melakukan penodaan dan penghinaan terhadap Islam. Menurut Saharudin Daming,
anggota Komna HAM, Soal kebebasan beragama, seseorang bebas memilih, namun
tidak bebas menyimpang apalagi merusak suatu agama. Menurut Saharudin orang
atau kelompok yang melarang MUI mengeluarkan fatwa sesat bagi Ahmadiyah malah ia telah melanggar HAM. Langkah MUI
dengan mengeluarkan fatwa justru untuk menegakkan HAM. Konstitusi menjamin kebebasan
beragama, bukan kebebasan merusak agama.
Mereka juga berdalih bahwa kaum muslimin harus mengedepankan kasih sayang
dari pada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Dr. Syamsuddin Arif dalam
tulisannnya Jalan Keluar Bagi Ahmadiyah di situs swaramuslim menyarankan
agar pemikiran seperti itu lebih tepat
diberikan kepada Pemerintah Amerika dan Zionis Israel agar memakai kasih sayang
dan menghentikan kekersan dan kekejian terhadap kaum muslimin di Irak dan
Palestina. Syamsuddin menegaskan Abu Bakar as-Shiddiq ra adalah orang yang
paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati), sabda Rasulullah
saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak
segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara Ahmadiyah bukan
persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan kepada siapapun untuk
memeluk-bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan QS. Al-Baqarah :256 dan
Al-Kafirun :6. Tak heran jika Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap
tegas terhadap para nabi palsu semacam Musailamah dan Thulaihah, bertobat atau
diperangi ( lihat: Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Cetakan Beirut, Darul
Kutub al-Ilmiyah, jilid 13 : 109 ). Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Andaikata statusnya muslim, maka sudah
semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya
sudah non muslim, maka terpulang kepada negara, apakah akan mengakui dan
melindungi keberadaannya sebagai agama baru- selain Hindu, Budha, Islam,
Katholik dan Protestan- ataukah sebaliknya. Pakar tata negara Yusril Ihza
Mahendra (era muslim 9/5-08) mengusulkan untuk mengakhiri polemik, baiknya
pemerintah segera bikin keputusan Ahmadiyah sebagai minoritas non-Islam, dan
dilarang menggunakan simbol-simbol Islam.
Fa aina Tadzhabun Ahmadiyah ?