HUKUMAN (‘IQAB) DALAM PENDIDIKAN II
1 Dasar
Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya
pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat
al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa
ayat 34, yang artinya:
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah
mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkan mereka. (Q.S. An-Nisa: 34)[1]
Islam
mensyariatkan hukuman, dan membeberkan macam-macam hukuman sesuai dengan
tingkat pelanggarannya. Hukuman membunuh adalah dibunuh, hukuman mencuri adalah
dipotong tangannya, hukuman bagi peminum adalah dicambuk. Kita mendapati
ketetapan bagi jenis-jenis pelanggaran ada hukumannya masing-masing yang mesti
dilaksanakan tanpa ragu dan belas kasihan sebagaimana firman Allah swt. :
èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õ‹è{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u‘ ’Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# ( ô‰pkô¶uŠø9ur $yJåku5#x‹tã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”[2]
Itulah syari’at Islam dalam hal hukuman termasuk dalam hal
pendidikan sebagaimana dikatakan oleh Al Qabasy bahwa hukuman itu menyeluruh
pada semua individu termasuk di dalamnya anak-anak.[3]
Anak didik apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun
masyarakat maka ia berhak mendapat hukuman.
2. Urgensi dan Tujuan Hukuman
Hukuman merupakan salah
satu media dari pendidikan yang tidak mungkin terpenuhi dengan satu metode
saja, hal itu dikarenakan tabi’at manusia berbeda tingkatan dalam merespon
pengaruh-pengaruh dan media-media pendidikan. Sebagian ada yang dapat menerima
dengan satu nasihat, atau dengan sekali motivasi atau satu kali ancaman, atau
dengan kejadian-kejadian dan pelajaran-pelajaran yang subjek didik saksikan
atau dengar. Dan sebagian tidak merespon pelajaran-pelajaran tersebut dan ia
tidak dapat mengambil manfaat darinya kecuali dengan penderitaan yang mendera
tubuhnya.[4]
Al
Qabisy tidak membedakan antara hukuman untuk anak kecil dan orang dewasa atau
antara laki-laki dan perempuan karena mereka adalah pribadi-pribadi walaupun
berbeda dalam sifat dan umur. Seorang anak kecil, dikenakan padanya hukuman kalau memang
ia berhak untuk dihukum, bahkan pendidik dapat saja mendapat hukuman apabila
lalai dalam melaksanakan tugasnya. Seorang anak yang membangkang berhak mendapat pendidikan dari orang tuanya, seorang suami berhak
mendidik istrinya sehingga dibolehkan baginya memukul.[5]
Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Ari fin ada dua, yaitu:
- Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa am an yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
- Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman
dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak
didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
3. Macam
dan Tahapan Hukuman
Seorang
pendidik mesti paham macam-macam hukuman yang sesuai dengan karakter peserta
didik dan bertahap dalam penerapannya. Macam-macam hukuman edukatif sebagai
berikut :
a. menunjukkan
ketidak setujuan
b. peringatan
keras
c. diasingkan
d. skor
e. hukuman
pukulan
a.
Menunjukkan Ketidaksukaan
Peserta didik
merasakan ketidak setujuan dari pendidiknya dengan memperliahtkan perangai dan
muka masam. Seorang pendidik tidak segera memukul peserta didik apabila ia
tidak mengindahkan nasihatnya, tetapi ia harus menempuh jenis hukuman dengan
memulai merasakan kepada peserta didik ketidak sukaannya akan kelakuannya baik
dengan perbuatan maupun perkataan. Ketidaksukaan itu dapat ditunjukkan dengan
muka masam, tidak memberikan prioritas, dsb.
Hukuman ini akan
berdampak efektif terhadap peserta didik apalagi kalau pendidik adalah orang
yang disukai. Oleh sebab itu, didapati sebagian anak atau peserta didik cepat
merasa bersalah kepada kedua orang tuanya atau gurunya apabila mereka melihat
ketidakridaannya.
b. Peringatan
Keras
Tahapan kedua
dari tahapan-tahapan hukuman edukatif adalah peringatan keras. Pendidik harus
mengingatkan muridnya dengan kritikan dan teguran keras dengan tanpa mencela.
Hukuman dengan jalan ini akan mengakibatkan hukuman moral supaya seseorang
menjaga kehormatannya di antara individu-individu masyarakat.[6]
Terjadi
kesalahan dalam mendidik yaitu berlebihan dalam melaksanakan sangsi moral ini
sehingga menjadi ledekan dan celaan dengan lafal-lafal yang kotor dan
kalimat-kalimat yang tajam sehingga menyakiti perasaan peserta didik dan
membuat ia jadi benci gurunya, dan kadang-kadang diketahui darinya kata-kata
yang tidak layak diucapkan. Menurut Khalid bin Khalid, hukuman seperti
merupakan salah satu hukuman pendidikan (yang efektif, pen) apabila pendidik
pandai-pandai menggunakannya.[7]
c. diasingkan
Pengasingan
maksudnya adalah melarang peserta didik dari apa yang ia sukai tetapi tidak
menimpakan madharat baginya. Ini termasuk tahapan yang seorang pendidik tidak
memulainya kecuali apabila hukuman yang sebelumnya tidak berhasil.
Pada prakteknya,
pelaksanaan hukuman ini beraneka macam kasusnya. Misal tidak diijinkan baginya
untuk bermain bersama teman-temannya, atau dilarang pergi ke tempat yang ia
sukai, atau melarang dia untuk membeli barang sebagian barang-barang mewah.
Hukuman ini dilaksanakan sewaktu-waktu, bukan menjadi sifat yang terus menerus.
Meskipun
kekuatan pengaruh cara seperti ini dapat terasa apabila dilaksanakan
terus-menerus, walaupun kelewatan batas, ia mempunyai dampak sedikit terhadap
akhlak peserta didik, kadang-kadang memberikan efek perubahan akhlak dari segi
peredaman apa yang dilarang darinya. Sebagaimana cara yang lain, cara ini pula
tidak dilaksanakan kecuali cara sebelumnya telah ditempuh dan dilakukan secara
pleksibel.
d.
skor (Al Hijr)
Al Hijr adalah
kebalikan dari al wasl (berhubung)[8],
yaitu memisahkan seseorang berbicara dengan yang lainnya apabila mereka
bertemu.[9]
Tujuan dari cara ini adalah membawa seseorang yang diasingkan (skor) untuk
meninggalkan hal yang menyalahi aturan yang telah ditentukan apabila ingin
menempuh pengobatan dengan cara seperti ini. Pengasingan dapat dijadikan metode
pendidikan sebagaimana terjadi pada suami terhadap istrinya, bapak terhadap
anaknya, dan guru terhadap muridnya, dan sebagainya.
e.
hukuman pukulan
Memukul
adalah kata yang dikenal untuk merasakan sakit atas jasad orang yang dipukul
baik dengan tongkat, atau dijewer, dll.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah
nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh
menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab,
pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya
kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Pendidikan Islam
telah menetapkan hukuman seperti ini dalam objek yang berbeda-beda, seperti
kasus istri yang nusuz, menyuruh membiasakan anak untuk shalat, dan dalam
sebagian hukum pidana (hudud) dan ta’ziiraat. Contoh mendidik istri
adalah sebagaimana Firman Allah swt. :
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB Æèdy—qà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur ’Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸x‹Î6y™ 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
“wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.[10]
Dalam mendidik
anak untuk shalat, Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk
melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah
mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya,
dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya."[11]
Ibnu Umar pernah
memukul anaknya hanya karena salah mengi’rab.[12]
Imam Ahmad menyatakan: “Seorang anak (boleh) dipukul kalau berhubungan dengan
masalah akhlak.[13]
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, tidaklah salah memukul anak kalau demi
pendidikan. Dan harus dibedakan antara kekerasan dengan pendidikan. Memukul
demi pendidikan, menurut Khalid bin Hamid al Hazimy mempunyai kaiadah-kaidah
batasan sebagai berikut :
1) Memukul
tidak boleh dalam keadaan marah, karena dengan keadaan seperti ini akan membuat
pendidik melampaui batas.
2) Pukulan
tidak boleh melukai, tidak boleh sampai mematahkan tulang, dan tidak boleh di
tempat yang berbahaya seperti dada. Imam Ahmad ditanya mengenai seorang guru
memukul muridnya? ia menjawab, “hukuman tergantung kesalahannya, dan
berhati-hatilah dalam memukul.[14]
3) Alat
memukul tidak boleh yang keras sehingga dapat mematahkan tulang dan tidak boleh
juga yang tajam sehingga akan melukai tubuh, tetapi antara keduanya.
4) Tidak
boleh memukul kepada anak kecil yang belum baligh.
5) Tidak
lebih dari sepuluh pukulan, berdasarkan sabda Rasul saw. :
عَنْ أَبِي بُرْدةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ
اللَّهِ
“dari Abu Burdah radliallahu 'anhu,
mengatakan; Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Tak boleh menjilid
melebihi sepuluh kali selain dalam hukuman had (yang) Allah (tetapkan)."[15]
Berdasarkan
hadits di atas, hukuman tidak boleh lebih dari sepuluh kali bagi pelangggaran
yang tidak berkaitan dengan maksiat, seperti dalam hal mendidik anak.[16]
6) Tidak
boleh memukul pada tempat-tempat yang mematikan.
Syarat
Penggunaan Hukuman Pukulan dalam Pendidikan Islam
Abdullah Nasih
Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:[17]
a)
Pendidik tidak
terburu-buru.
b)
Pendidik tidak
memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
c)
Menghindari
anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
d)
Tidak terlalu
keras dan tidak menyakiti.
e)
Tidak memukul
anak sebelum ia berusia 10 tahun.
f)
Jika kesalahan
anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat,
minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
g)
Pendidik
menggunakan tangannya sendiri.
h)
Jika anak sudah
menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia
menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh
pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan
Islam sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah bertahap
dan dapat menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan
tidak mengulanginya.
[1] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahannya
[2] An Nur: 2
[3] Ahmad Fuad, hal 143
[4] ibid
[5] Al Qabisy dalam Ahmad Fuad
Ahwany, At Tarbiyah fi Al Islam, hal 141.
[6] Ahmad Fuad Al Ahwany, Al
Tarbiyah fi al Islam, hal. 131.
[7] Khalid, Ushul Al Tarbiyah Al
Islamiyah, hal. 403
[8] Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, juz
5: 250
[9] Ibnu Hajar, Fath al Baary, 10:
492
[10]
An Nisa: 34
[11] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
(CD kitab Sembilan Imam), no. 418
[12] Bukhori, Al Adab Al Mufrod,
no. 883, hal. 295
[13] Ibnu Muflih, Al Adab Al
Syar’iyyah, no. 1451
[14] ibid. no. 451
[15] Bukhori, Shahih Bukhori,
no. 6342
[16] Ibnu Hajar, Fath al Bary,
(Beirut, 1994), juz 12, hal 178
[17] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327
1 comments:
jadi lebih berhari hati lagi nih
Post a Comment