Search

Pemikiran M. Natsir

PEMIKIRAN M. NATSIR TENTANG PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

Sejarah Bangsa Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir, secara unik. Dia adalah perdana menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh pendidikan.[1]

Menurut Endang Saefuddin Anshari, M. Natsir adalah seorang Dzu Wujuh, menpunyai banyak wajah dalam arti yang baik. Ia adalah seorang guru bangsa, pendidik ummat dan mujahid da’wah, ia adalah seorang budayawan atau pemikir budaya, ia adalah seorang ‘alim dengan segala atribut yang lekat dengan gelar itu, ia adalah seorang politikus terdepan, ia adalah seorang negarawan terkemuka, dan last but not least ia adalah seorang tokoh internasional yang dihormati.[2]

M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Pandangan di atas dibuktikan oleh berbagai macam tulisan dalam berbagai bahasa, Indonesia, Inggris, Arab maupun Belanda baik mengenai kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan dan sebagainya.[3] Dengan wawasan politik dan agama yang luas, mengantarkan Natsir untuk memimpin sidang Muktamar Alam Islami di Damaskus pada tahun 1957, bersama syekh Maulana Abul A’ la al-Maududi (Lahore) dan Hasan al-Nadawi (Lucknow). Atas jasa-jasanya dalam memimpin organisasi dimaksud, maka pada tahun 1980 Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan “Faisal Award” sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdianya pada Islam.[4] Begitu luas wawasan dan pandangannya, oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis membatasi sekitar pemikiran M. Natsir tentang pendidikan, terutama pendidikan Islam.

Bagaimana bentuk real dari cita-cita pendidikan M. Natsir, bagaimana keterlibatan M. Natsir dalam dunia pendidikan, dan bagaimana konsep-konsep pemikiran pendidikan dan perjuangan untuk mewujudkannya, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam makalah ini secara sederhana akan penulis paparkan.


B. RIWAYAT HIDUP M. NATSIR DAN KETERLIBATANNYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Muhammad Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Alahan panjang Sumatera Barat.[5]. Ia bergelar Datuk Sinaro Pandjang.[6] “Saya dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim yang taat,” kata Natsir suatu ketika. Natsir kecil telah berkenalan dengan pendidikan agama dalam lingkungan tradisionalis yang agamis.[7] Lalu Natsir berkenalan dengan pendidikan Barat di tengah lingkungan modern yang dibawa kolonialisme. Dalam diri Natsir pun bertemu hasil pendidikan agama yang memberi dasar-dasar religiusitas dengan hasil pendidikan Barat yang mengenalkan nilai-nilai modern. Natsir adalah terpelajar berpendidikan Barat yang memahami dengan fasih ajaran-ajaran Islam.[8]

Tahun 1923-1927 M. Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Selain menyelesaikan sekolah formalnya, Natsir pun pernah belajar pada sekolah agama di Solok yang dipimpin oleh Tuanku Mudo Amin, seorang pengikut dan kawan haji Rasul. Ia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Natsir telah mengenal ajaran-ajaran pembaharuan Islam ini sejak kecil.[9] Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.

Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, tokoh dan guru Persatuan Islam (Persis). Mendapat ijazah perguruan tinggi tarbiyah Bandung, Mendapat gelar Doktor Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia (dulu Sekolah Tinggi Islam) Yogyakarta., dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan Universitas Sains Malaysia (USM). Pada masa pendudukan Belanda aktif pada dunia pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada Direktorat Pendidikan di Jakarta.[10] Natsir bergabung dengan organisasi Persis untuk ikut memajukan bidang pendidikan yang sesuai dengan hakikat ajaran Islam. Ia yakin bahwa pendidikan sangat penting untuk kepentingan Islam di masa mendatang. Selain itu, juga ia tidak dapat menutup mata terhadap realitas masyarakat sekitarnya bahwa bangsanya sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk masuk ke sekolah Belanda. Oleh karena itu, tawaran dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta dan Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda ditolaknya. Ia justru memilih masuk ke sekolah pelatihan bagi guru non-Eropa.[11]

Keterlibatan M. Natsir dalam bidang pendidikan telah dimulainya sejak ia telah selesai menamatkan sekolah AMS di Bandung tahun 1930. Aktivitasnya dalam bidang pendidikan diawali dengan mengadakan kursus sore hari. Kursus sore hari ini dilatarbelakangi dengan keprihatinan ia terhadap anak-anak muslim yang belajar di sekolah Belanda yang note bene tidak diajarkan pendidikan Agama Islam. Ternyata kursus sore ini berkembang dan berubah menjadi suatu lembaga pendidikan yang bernama “Pendidikan Islam”, disingkat “Pendis” pada tahun 1932.[12] Menurut Deliar Noer lembaga pendidikan Islam yang dilancarkan oleh M. Natsir terdiri dari beberapa buah sekolah : Taman Kanak-Kanak dan HIS (tahun 1930, MULO tahun 1931 dan Sekolah Guru tahun 1932.

Inisiatif Natsir ini mulanya merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam pelajaran Bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan ini dikemukakan setelah melihat berdirinya beberapa sekolah swasta di Bandung pada waktu itu, di mana tidak diajarkan pelajaran agama.[13] Selain itu, Natsir juga aktif pada pendidikan non-formal, yaitu menjadi pengajar pada Pesantren Besar yang didirikan oleh A. Hassan yang tujuan didirikannya adalah untuk membentuk kader-kader muballigh yang siap mengajar dan menyiarkan Islam.[14]

Dari tahun 1932 sampai tahun 1942, Natsir menjadi direktur Pendidikan Islam Bandung. Pada tahun 1942-1945 ia menjadi kepala biro pendidikan kota Madya Bandung (Bandung Syiakusyo).[15] Biro pendidikan tersebut merupakan biro pendidikan Pemerintah Jepang di Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung, penerimaan jabatan tersebut tidak lepas dari persetujuan Persis dan restu A. Hassan.[16]

Pada bulan April 1945, ia terlibat dalam pendirian sebuah Sekolah Tinggi Islam bersama Bung Hatta, A. Kahar Muzakkir, kemudian setelah pindah ke Yogyakarta, berkembang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) sampai sekarang. Menurut Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, M Natsir hanya lulusan SMA tetapi mampu mendirikan Perguruan Tinggi (PT) diantaranya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Islam Riau (UIR) dan Univeristas Ibnu Khaldun Jakarta. Perguruan Tinggi lainnya adalah Universitas Islam Bandung (Unisba), Univeristas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Sultan Agung Semarang dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar yang saat ini berkembang sangat pesat dan terakhir Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir di Jakarta.[17]


C. PEMIKIRAN M. NATSIR DALAM PENDIDIKAN ISLAM

1. Konsep Pendidikan Islam

Ajip Rosidi dalam pengantar buku “Kebudayaan Islam dalam perspektif Sejarah” menjelaskan di antara latar belakang M. Natsir mendirikan pendidikan Islam yaitu setelah kian lama menyelami keadaan masyarakat, kian ia menyadari bahwa kekurangan yang pokok pada umat Islam ialah pendidikan yang dapat mempersenjatainya dengan ilmu yang bermanfaat bagi hidup di dunia tetapi juga yang tidak menjauhkannya dari agamanya sendiri. Sedangkan pada kenyataan masyarakat, dia melihat bahwa pada satu pihak ada sekolah-sekolah agama tradisional seperti pesantren dan surau-surau yang mengajarkan ilmu agama dan akhlak utama, tetapi kurang memperhatikan pelajaran untuk hidup praktis di dunia.

Sebaliknya sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mengajarkan ilmu-ilmu untuk menguasai hidup di dunia dengan baik, tetapi tanpa disertai dengan pendidikan agama (Islam) yang memadai, sehingga banyak lulusannya yang kemudian mengambil sikap “netral agama”. Juga sekolah-sekolah swasta yang banyak didirikan pada waktu itu, umumnya tidak atau kurang menganggap penting pendidikan agama Islam. Termasuk juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam sendiri, karena terlalu berpola kepda sekolah pemerintah.[18]

Menurut Natsir, yang dinamakan “didikan” ialah suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.[19] Menurutnya, pendidikan Timur dan Barat tidak perlu dipertentangkan. Sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia sendiri dan bersifat hadith (baru) kedua sistem pendidikan mempunyai kelebihan dan kekurangan, serta kebaikan dan keburukan, namun tidak perlu dipertentangkan. Pendidikan Islami menurut Natsir adalah yang mengambil yang baik dari manapun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari manapun datangnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam bersifat universal dan sekaligus integral dan harmonis. Buat seorang hamba Allah, kata Natsir, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat bukanlah dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai harus lengkap melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang dalam mencapai kebahagiaan dalam menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebagai konsekuensinya perlu integrasi sekolah umum dengan madrasah.[20]

Natsir mengemukakan dalam tulisannya bahwa tidak ada dikotonomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Ia mengatakan bahwa dikotonomi pendidikan adalah warisan sejarah masa kemunduran Islam, dan tidak pernah ada dalam Islam.[21]

Sementara itu Abuddin Nata mengemukakan enam konsep peran dan fungsi pendidikan yang dimajukan oleh Natsir, yaitu : Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak karimah yang sempurna. Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar. Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah SWT. Kelima, pendidikan harus menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertikal maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Keenam pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat kemanusiaan.[22]

Sejauh pengamatan penulis, pandangan pendidikan Natsir tidak terlepas dari grand konsepnya yaitu da’wah. Oleh sebab itu, kita akan menemukan konsep yang konsisten dari Natsir baik yang berhubungan dengan da’wah maupun pendidikan. Sebagai contoh, dalam perumusan tujuan hidup dalam konsep da’wah sama dengan tujuan hidup dalam konsep pendidikan. [23]

2. Dasar Pendidikan Islam

Kunci dari pendidikan adalah ajaran tauhid. Tauhid merupakan puncak dari ilmu, puncak dari semua aktivitas manusia beriman yang pada ujung perjuangannya adalah kalimat la ilaaha illallah. Oleh karena itu Natsir menganjurkan agar Tauhid dijadikan sebagai landasan pendidikan bagi umat manusia.[24] M. Natsir menyebutkan dasar pendidikan Islam dengan “Ideologi Pendidikan Islam” hal ini disampaikan dalam pidato pada rapat Persatuan Islam (Persis) di Bogor, 17 Juni 1934.[25]

3. Tujuan Pendidikan Islam

Natsir merumuskan tujuan hidup yang dijadikan tujuan pendidikan ada dua macam, yaitu : a. Menjadi hamba Allah; b. mencapai kesejahteraan hidup dunia dan akhirat.
Dengan mengacu kepada surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya : “Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku”.

Perkataan menyembah Aku sebagaimana bunyi terjemah ayat di atas menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas sekali, lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan pakai setiap hari. “Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan di akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan di dunia dan akhirat.[26]

Selanjutnya dengan mengacu kepada surat al-Fathir ayat 28, yang artinya : “Bahwa yang sebenar-benarnya takut kepada Allah itu, ialah hamba-Nya yang mempunyai ilmu”, M. Natsir mencoba menghubungkan penghambaan kepada Allah dengan penguasaan ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Menurutnya bahwa suatu syarat yang terpenting untuk menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya dengan memiliki ilmu pengetahuan. Menghambakan diri kepada Allah termasuk di dalamnya mengupayakan terciptanya kemakmuran dengan menggali kekayaan alam sebagai sumber rezeki yang halal.[27]

Menurut M. Natsir, di dalam al-Qur’an digambarkan, tujuan dalam pendidikan yang seharusnya diberikan oleh para alim ulama, para guru-guru agama, kepada murid-murid yang kita didik di sekolah-sekolah, yaitu terbentuknya pribadi-pribadi. Terbentuknya pribadi-pribadi ini maksudnya adalah pribadi yang seimbang antara kesejehteraan jasmaniahnya dan kesejahteraan rohaninya.[28]

4. Pendidik

DR. G. J. Nieuwenhuis mengatakan, “suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut”.

Pernyataan di atas dikutip oleh M. Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Berkaitan dengan masalah ini, M. Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka: “Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak-anak saya”.[29]

Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru-guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya (alih profesi) menjadi pegawai pos. Hal yang demikian terjadi, antara lain karena kesejahteraan pekerjaan sebagai guru, khususnya guru yang mengajar di sekolah partikelir sangat kecil atau kurang memadai. Karena itu, bagi seorang guru akan sulit membiayai pendidikan anak dan biaya hidup keluarganya apabila gajinya kecil.

Menanggapi kenyataan tersebut di atas, M. Natsir mengucapkan “selamat” terhadap mereka yang alih profesi. Yakni selamat untuk tidak mau berkorban. Biarkan tugas guru bagi mereka yang mau berkorban. Ungkapan M. Natsir ini menegaskan bahwa menjadi guru harus memiliki pengorbanan yang besar. Ia harus rela menanggung kesengsaraan hidup yang disebabkan oleh upah yang tidak memadai, sementara ia dituntut harus profesional dalam menjalankan tugasnya serta memiliki roh keagamaan yang kuat.[30]

Namun demikian, dalam prakteknya M. Natsir tidak menjadikan prinsipnya itu sebagai alat untuk menghibur guru-guru yang mengajar di Pendis yang ia pimpin. Ia berusaha untuk mensejahterakan guru-guru partikelir walaupun harus menjual kalung mahar milik istrinya.[31]

5. Kurikulum Pendidikan

Konsep dasar dari kurikulum yang dijalankan oleh M. Natsir adalah konsep pendidikan yang integral, universal dan harmonis. Konsep pendidikan yang integral ini maksudnya adalah pendidikan yang tidak mengenal dikotonomi antara pendidikan umum dan agama, antara urusan dunia dan akhirat, dan antara badan dan roh. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kurikulum yang sesuai dengan visi tersebut, yaitu kurikulum yang selain berisi ilmu-ilmu fiqih, ushul fiqih, dan tafsir, juga berisi ilmu pengetahuan yang mencakup ilmu bumi, ilmu falak, ilmu hitung, ilmu sejarah, ilmu jiwa, kedokteran, pertanian, biologi, sosiologi, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam rangka mempertinggi derajatnya. Semua ilmu duniawi dan ukhrawi disatukan menjadi ilmu pengetahuan yang bulat, karena semua ilmu pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT.[32] Penguasaan terhadap bahasa asing, terutama Inggris, Belanda dan Arab sangat ditekankan oleh M. Natsir. Dalam salah satu artikelnya M. Natsir memberikan judul “Bahasa Asing Sebagai Alat Pencerdasan” dengan sub judul “Pembuluh Kebudayaan Bagi Indonesia”. Tetapi ia tetap menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.[33]

M. Natsir memberikan ilustrasi bagaimana kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh anak didik setidaknya pada tingkat Perguruan Tinggi. Disamping membaca Hadhirul ‘Alamil Islamy karya Syakib Arsalan, ia menganjurkan juga buku yang sepadan dengannya yaitu The New World of Islam karya Lothrop Stoddard, disamping membaca Mukaddimah Ibn Khaldun juga membaca History of Civilisation karya Buckle’s.

6. Metode Pendidikan

M. Natsir meyakini bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang ajaran-ajarannya sejalan dengan fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Tuhan dengan tujuan agar jiwanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya itu. Untuk itu Natsir menyarankan agar pendidikan dilakukan dengan metode yang tepat dan efektif dengan kata-kata yang menyejukkan dan menimbulkan kesan yang dalam serta senantiasa diingat oleh anak-anak.[34]
Dasar-dasar pemanusiaan kelas telah dikemukakan oleh M. Natsir dibanding dengan teori Humanizing The Classroom yang sampaikan oleh John P. Miller pada tahun 1976 di Amerika Serikat.

D. Kesimpulan dan Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa tersebut di atas, dapat ditarik catatan dan kesimpulan sebagai berikut :
  • Pertama, Muhammad Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan negara dengan menjadikan Islam sebagai landasan motivasi perjuangannya itu.
  • Kedua, Muhammad Natsir termasuk di antara tokoh yang menggagas pendidikan Agama Islam secara integral.
  • Ketiga, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, M. Natsir selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil.
  • Keempat, gagasan dan pemikiran M. Natsir tampak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah kecerdasan, karakter dan kepribadian yang sedemikian kuat, tabah dan rela berkorban, serasi antara konsep dan perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan keluarga, pendidikan dan keadaan masyarakat. M. Natsir orang yang merasakan pendidikan Belanda yang dirasa sekuler, lebih mementingkan kehidupan duniawi, dan ia juga menyaksikan dan mengalami pendidikan agama yang terlalu berorientasi pada kehidupan ukhrawi.
  • Kelima, pandangannya terhadap Barat yang rasional, tidak emosional.

2. Penutup

Demikianlah makalah yang sedehana ini penulis sampaikan. Tentunya tidak semua ide-ide M. Natsir tercover dalam tulisan ini. Tetapi mudah-mudahan menjadi gambaran dari cita-cita besar yang ia gariskan dalam pemikiran-pemikirannya. Sebagai penutup dari makalah ini, penulis sampaikan kutipan berikut ini :

Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo meminta para akademisi untuk selalu meningkatkan semangat yang dimiliki tokoh pendidikan, Mohammad Natsir, yang saat ini seolah dimaknai selesainya cita-cita tersebut. ''Ia bercita-cita untuk meningkatkan pendidikan yang berbasis keagamaan dan setelah ia wafat bukan berarti kita menganggap selesai dengan cita-citanya tersebut''.[35]

[1] Sugeng Sumaryadi, Seabad M Natsir, Sang Peletak Dasar Pendidikan Islam dalam http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=160525
[2] Endang Saefuddin Anshari dalam M. Natsir “Kabudayaan Islam dalam perspektif Sejarah” (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988), hal. vii.
[3] Lihat di antaranya Capita Selecta yang memuat kumpulan dari tulisan-tulisan M. Natsir yang di dalamnya di antaranya dimuat filsafat Ibn Maskawaih, Ibnu Sina, Muhammad dan Charlemagne, Perguruan Partikelir Islam, oleh-oleh dari Algiers, De Macht Van Den Islam?, dll.
[4] http://www.sumbarprov.go.id/home/detail.asp?iData=1108&iCat=321&iChannel=1&nChannel=News
[5] Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus (Bandung: Rosda, 1997), hal. 53.
[6] Editor, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houven, 2000), hal. 196.
[7] Eep Saeful Fatah, Membangun Oposisi (Bandung: Rosdakarya, 1995), hal. 207.
[8] Dawam Raharjo dalam Eep, Ibid.
[9] Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983 (Bandung: Gema Syahida, 1995), hal. 35
[10] Http://www.pks-jaksel.or.id
[11] Ulil Amri Syafri dalam FOSPI KAIRO MESIR, Siapkah Persis Menjadi Mujaddid Lagi?: Upaya mewujudkan wacana Persis baru (Bandung: Alqaprint, 2000), hal. 169.
[12] Ramayulis, Pemikiran M. Natsir tentang Pendidikan (Padang: Hadharah, Jurnal Keislaman dan Peradaban, vol. 1 no. 1, 2005), hal 60.
[13] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 101.
[14] Badri Khaeruman, Pandangan Keagamaan Persatuan Islam (Bandung: Granada, 2005), hal. 27
[15] Ensiklopedi, Ibid., hal. 197.
[16] Dadan Wildan, Yang Da’I ….., hal. 63.
[17] Disampaikan dalam sambutan peringatan 100 tahun M. Natsir di UNISBA pada hari Sabtu tanggal 23 Pebruari 2008.
[18] Ajip Rosidi dalam M. Natsir “Kabudayaan Islam dalam perspektif Sejarah” (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988), hal. xix.
[19] Natsir, Capita Selecta ( Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, 1954), hal. 57.
[20] Ramayulis, Ibid., hal 67.
[21] Natsir, Ibid., hal. 87.
[22] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 81.
[23] Lihat Fiqhud Da’wah karya M. Natsir.
[24] Natsir, Ibid., hal. 113.
[25] Ibid., hal 53.
[26] Ibid., hal. 58.
[27] Ibid.hal. 59.
[28] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir (Yogyakarta: Sipress, 1996), hal. 75.
[29] Natsir, Ibid., hal 86.
[30] Natsir, Ibid., hal 87.
[31] Dadan Wildan, Risalah ……
[32] M. Natsir dalam Abuddin Nata, Ibid., hal. 88.
[33] Lihat Capita Selecta hal. 105-106.
[34] Abuddin Nata, Ibid.
[35] Ujar Mendiknas seusai menghadiri Seminar Nasional Membedah Pemikiran Pendidikan M Natsir di Universitas Islam Bandung (Unisba). Antara, Sabtu (23/2).

1 comments:

Untuk Memperkaya Diskusi Kita tentang Buya M Natsir, berikut sy referensikan Pustaka Digital Buya M Natsir beralamat di http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com sebagai media untuk memuat pandangan, gagasan, percik pemikiran serta tapak pergerakan Buya Mohammad Natsir dalam memandu umat dan bangsa menuju masyarakat yang dinamis dan agamis. Media ini juga didedikasikan bagi perjuangan islam ideologis demi kemaslahatan bersama umat, bangsa dan negara...salam semangat !

Post a Comment