Search

Pemahaman Hadis

PEMAHAMAN HADIS
Oleh : Deni Solehudin

Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim terbesar di dunia tidak akan mungkin terlepas dari kajian hadis yang bersumber dari Rasulullah saw. Dengan demikian pengembangan studi hadis konteks ke-Indonesiaan merupakan suatu keniscayaan.

Dalam pembicaraan ini, penulis akan memulai dengan dua sorotan utama yaitu : Pertama, Muhammad saw. sebagai manusia biasa (orang Arab) dan sebagai Utusan Allah (Rasulullah); Kedua, kajian tektual dan kontektual suatu hadis.

Kajian pertama berangkat dari teks ayat al-Qur’an yang artinya kurang lebih sebagai berikut : “Aku adalah manusia seperti kamu tetapi aku mendapat wahyu”.
Kemungkinan pemahaman beragam terhadap ayat di atas di antaranya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Antara basyariah nabi Muhammad dengan kerasulannya tidak dapat dipisahkan. Tentunya kelompok ini berangkat dari berbagai dalil yang mendasari atas pemahamannya.
  2. Harus dipilih dan dipilah apakah Muhammad bertindak dan berucap sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, atau apakah bertindak sebagai Rasulullah saw. yang kita tidak dibenarkan untuk menyalahinya.
Bagi kelompok pertama mereka akan melakukan taken for grounted atas apa yang diyakini bersumber dari Rasulullah saw. Dalam perkembangan selanjutnya kelompok ini cenderung bersikap tekstual. Di Indonesia kelompok ini diwakili oleh pengikut Jama’ah Tablig dan sebagian kelompok salafi. Sebagai contoh kasus dalam hal pakaian, dengan alasan mengikuti sunnah Rasul, mereka memakai pakaian sebagaimana orang Arab.

Kelompok kedua, mereka berusaha untuk memilih dan memilah apakah perkataan yang disampaikan oleh Muhammad saw. itu perkataan yang terkait dengan tugas risalahnya atau hanya perkataan atau perbuatan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa, Muhammad sebagai orang Arab yang biasa pergi ke pasar, pernah lupa dan berpakaian sebagaimana layaknya pakaian budaya Arab. Oleh sebab itu dalam prakteknya untuk hal ini perlu kajian yang dalam terhadap pemahaman hadis. Alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini di antaranya adalah perkataan Rasul sendiri yang menyatakan bahwa “apabila urusan itu adalah urusan agama maka akulah bagiannya, tetapi apabila urusan itu adalah urusan duniamu maka kamu lebih mengetahui urusan duniamu itu”.

Pernyataan di atas jelas bahwa kadang-kadang Muhammad bertindak sebagai rasulullah dan kadang-kadang bertindak sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dalam statusnya sebagai manusia biasa Muhammad berhak untuk berijtihad sesuai dengan jalan logikanya. Keadaan seperti ini juga dipahami oleh para sahabat beliau. Sebagai contoh peristiwa penempatan posisi pasukan pada waktu perang Badar. Sahabat Salman Al Farisy bertanya apakah itu wahyu atau ijtihad Muhammad saw. Kalau wahyu walaupun bertentangan dengan ijtihadnya ia akan tetap mentaatinya, tetapi kalau ijtihad Muhammad semata maka ia berani mengusulkan ijtihadnya sendiri yang ternyata disetujui oleh Rasulullah saw.

Pembahasan selanjutnya, apabila sudah dipahami bahwa hadis itu berasal dari Muhammad Rasulullah saw. timbullah pertanyaan : Apakah penerapannya apa adanya (tekstual) atau perlu dikaitkan dengan situasi atau kondisi ketika Rasul mengatakannya yang kemudian dihubungkan dengan kondisi sekarang dalam hal ini konteks ke-Indonesiaan.

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa tidak dapat disangkal bahwa hadis-hadis yang berdimensi aqidah maka keberlakuannya mutlak, tidak ada kontek-kontekan. Seperti hadis tentang niat, tentang ikhlas, praktek shalat dan sebagainya. Tetapi bagi hadis-hadis yang berdimensi muamalah, budaya dan kemasyarakatan maka kita perlu memperhatikan aspek-aspek tertentu yaitu di antaranya sosiologi, antropologi, dan sejarah. Studi ini sangat diperlukan dalam melakukan pendekatan pengkajian makna hadis, disamping penelusuran terhadap sababul wurud hadis tersebut. Sebagai contoh ada suatu hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. tidak menyukai warna merah dan menyukai warna putih. Hal ini perlu ditelusuri dari aspek sosial budaya, situasi alam dan cuaca di sana, setatus sosial dan ekonomi masyarakat pada waktu itu.

Di samping itu, secara konsep makro penulis setuju dengan konsep integralitas dan koneksitas. Sebelum melakukan konteks materil perlu juga konteks immateril. Konteks materil yang dimaksud misalnya dalam hadis perintah untuk membasuh bijana yang dijilat oleh anjing dengan 7 kali basuhan dan salah satunya dicampur dengan tanah. Bagi aliran kontekstual mereka langsung mengganti tanah dengan sabun. Tetapi menurut penulis, perlu dikaji dulu secara immateril, yaitu mengapa harus dengan tanah. Ada apa dengan jilatan anjing terhadap bijana yang ada airnya dan ada apa dengan tanah. Dengan demikian kajian hadis di atas bisa berdimensi ilmu pengetahuan.

Dengan pendekatan-pendekatan seperti di atas, penulis yakin bahwa pengembangan studi hadis di Indonesia akan hidup dan menghidupkan. Hadis tidak akan berperan sebagai teks yang mati tetapi menjadi sumber yang hidup bahkan memberikan penghidupan.

Penghapalan hadis menurut penulis merupakan suatu hal yang kurang produktif, tetapi hadis harus diposisikan sebagai sumber pemahaman dan sumber ilmu pengetahuan.
Demikianlah repleksi yang dapat penulis sampaikan. Mohon maaf atas segala kekurangannya. Allahu a’lamu bishawab.

0 comments:

Post a Comment