Search

Metodologi Tafsir Ibnu Jarir

A. Pendahuluan
Fazlur Rahman mengatakan : “Al-Qur’an ibarat puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilanpersepuluh darinya terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak di permukaan”.[1] Sungguh, tidak akan ada yang mampu mengenalnya, kecuali mereka yang tenggelam di dalamnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa studi tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.

Menurut Abdul Mustaqim,[2] Munculnya berbagai macam corak dan karakteristik penafsiran yang kemudian disebut dengan istilah madzahibut tafsir disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk penafsirannya. Statemen ini agaknya semakin menguatkan tesa Micheil Fucoult bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu tafsir tidak bisa dipisahkan dari adanya relasi kekuasaan (baca: politik). Selain itu, perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Faktor-faktor tersebut dikategorikan oleh penulis sebagai faktor ekternal atau al-‘awamil ad-dakhiliyyah. Sedangkan secara internal munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding, mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral.

Di antara ulama tafsir yang turut memperkaya turats Islam adalah Ibnu Jarir al-Tabary. Ibn Jarir al-Tabari (839-923 M/224-310 H) dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, lugah, tarikh termasuk tafsir al-Qur’an. Dua karya besarnya, Tarikh al-Umam wa al-Mulk – yang berbicara tentang sejarah - dan Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menjadi rujukan utama (prominent reference), sehingga berhasil mendongkrak popularitasnya ke panggung dunia di tengah-tengah “masyarakat membaca”, ia merupakan sebuah ensiklopedi komentar dan pendapat tafsir yang pernah ada sampai masa hidupnya hingga beberapa generasi telah menyambut baik dan antusias terhadapnya. Dengan corak tafsir bi al-ma’sur yang dikembangkan oleh al-Tabari telah mengilhami dan menyemangati para mufassir generasi berikutnya, seperti Ibn Kasir yang telah melakukan elaborasi dan kolaborasi terhadap tafsir al-Tabari.

Oleh karena itu, kitab ini menjadi sumber yang tak terhindarkan bagi tafsir tradisional, yang tersusun dari hadis-hadis yang diteruskan dari otoritas-otoritas awal. Meskipun ilmuwan sekaliber M. Arkoun masih melihat bahwa tafsir besar yang ditulis al-Tabari belum menjadi subyek studi ilmiah yang mementingkan posisinya dalam sejarah tafsir.[3] Itulah sebabnya tulisan berikut ini ingin menyajikan sosok al-Tabari dengan segala kelebihan dan kekurangan melalui karya monumentalnya –Jami’ al-Bayan– dengan menilik aspek metodologis dan karakteristik dalam konstelasi penafsiran al-Qur’an. Sehingga upaya untuk mengenalkan lebih dekat terhadap tafsir al-Qur’an klasik dapat memberikan deskirpsi karya-karya tafsir mulai sejak awal kemunculannya hingga masa kini akan dapat dilihat perkembangan hirarki kesejarahannya.

B. Setting Biografis al-Tabari[4]
1. Potret Kehidupan Awal
Nama lengkap Ibnu Jarir adalah Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Khalib al-Tabary al-Amuli.[5] Nama ini disepakati oleh al-Khatib al-Bagdadi[6] (392-463/1002-1072), Ibn Katsir dan al-Zahabi. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran.[7] sehingga nama paling belakangnya sering disebutkan al-Amuli­ penisbatan tanah kelahirannya. la dilahirkan 223 H (838-839 M),[8] sumber lain menyebutkan akhir 224 H[9] atau awal 225 H (839-840),[10],[11]dan meninggal 311/923, sementara dari sumber informasi lain disebutkan pada 310.[12]

2. Situasi Sosio-Historis
Al-Tabari, secara kultural-akademik termasuk `makhluk yang beruntung', jika dilihat setting-sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu­-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV H. Keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun intelektual terhadap perkembangan keilmuannya.
Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al­-Tabari dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.

3. Posisi Intelektualnya
Ibn Jarir telah berkunjung ke berbagai kawasan untuk menun­tut ilmu dari sumber-sumbernya, dari pangkal dan cabangnya, sehingga menjadi ilmuwan tiada duanya pada masanya, baik dari segi ilmu, amal, hafalan terhadap Kitabullah, pengetahuan tentang makna-maknanya, nasikh mansukh-nya, sebab nuzulnya, di samping paham tentang sunnah dan jalur-jalurnya, ahli fiqh, menguasai pen­dapat para sahabat, tabi'in dan generasi sesudah mereka. la telah menghimpun ilmu-ilmu yang belum pernah dihimpun oleh ulama` pada masanya, seorang imam yang diikuti, telah mencapui derajat mujtahid dan menjadi rujukan dalam berbagai bidang ilmu.

Ibn Khillikan berkata, la termasuk imam mujtahid dan tidak bertaklid kepada siapapun. Dan sebelum sampai ke tingkat mujtahid, tampaknya ia pengikut madzhab Syafi'i.
A1-Khathib berkata, la salah seorang ilmuwan terkemuka. Pen­dapatnya menjadi pendapat hukum dan menjadi rujukan karena pengetahuan dan keutamaannya. la telah menghimpun ilmu yang tiada duanya pada masanya. [13]

Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya­ Amul-tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Tabari. la diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dan Mesir dalam rangka "travelling in quest of knowledge" (al-rd.-tlah li talab al-'ilm) dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya. Al Syajary meriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwasanya ia hapal al-qur’an ketika berusia 7 tahun, menjadi Imam shalat ketika berusia 8 tahun, menulis hadis ketika berusia 9 tahun.

Di Rayy ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu `Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razy. la juga menimba ilmu dari al-Mu'sanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis. la pernah pula pergi ke Bagdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal (164-24I/ 7780-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat. la segera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd al-A'la al-San'ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu al-'As'as, Ahmad bin al-Miqdam (w. 253/867), dan Abu- al-jawza' Ahmad bin `U'sman (w 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas'adah dan Bisr bin Mu'ai al­`Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski sebelumnya pemah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin al­Sari (w. 243/857).[14]

Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama. la masih memu­satkan perhatian pada qira’ah (cara baca) dan fiqh dengan bim­bingan guru, seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa'labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za'farani dan al Raby al Murady.[15] Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, ia melanjutkan per­jalanan ke berbagai kota untuk mendapatkan ilmu, terutama pendalaman gramatika, sastra (Arab) dan qira’ah. Hamzah dan Warasy-(yang masih populer di kalangan qurra' hingga saat ini)-termasuk orang-orang yang telah memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal di Bagdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn `Uyainah dan Waqi' ibn al-Jarah, Syu'bah bin a1-Hajjaj, Yaajid bin Harun dan Abd ibn Ha-mid.[16]

Domisili terakhir sepulang dari Mesir adalah Bagdad dan sempat singgah di Tabaristan. Adapun pada permulaan tinggal di Baghdad ia bermazhab Syafi’i kemudian dengan kecerdasannya beliau berlepas dan berijtihad sendiri. Keterangan di atas sebagaimana ia tuturkan kepada Harun bin Abdul ‘Aziz dan diceritakan oleh Abu Muhammad al Farghany : “Saya tinggal di Baghdad dan mengikuti mazhab Syafi’i selama sepuluh tahun …”.[17]

Dari berbagai pengembaraannya dalam mencari ilmu, maka tidak berlebihan kalau Abu Ali al-Ahwazy mengatakan : “Al Thabary adalah orang yang faham tentang fiqh, hadis, tafsir, nahwu, bahasa Arab, sastra Arab, dan ia dalam ilmu-ilmu itu mempunyai karya-karya yang tidak tertandingi.[18]
Sejumlah karya telah berhasil ia telorkan dan akhirnya ia wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H bertepatan dengan 17 Februari 923 M dalam usia 85 tahun.[19] Menurut al Khatib, kematiannya dishalati oleh masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.[20]

4. Karya-karyanya
Menurut Ibnu Qadhy Syuhbah, kitabnya berjumlah 83 kitab.[21] Namun secara tepat, belum ditemukan data mengenai berapa jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi, yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Tabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang sampai ke tangan kita di antaranya :
  1. Adab al Manasik
  2. Adab al Nufus.
  3. Ikhtilaf al ‘ulama al amshar
  4. Ahaadis Ghadir Kham
  5. Al Jami’ fi al Qira’at
  6. Kitab Jami' al-Bayan ft Tafsir al-Qur'an
  7. Dll.[22]

C. Tafsir jami' al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an[23]
1. Sejarah Penulisan
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan heteroge­nitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatan­nya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewamai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan.

Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu ke­islaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis, di samping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan substansial. kemunculan aliran tafsir bi al-ma'sur dan bi al ­ra'yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bi al-ma'sur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari riwayat yang sahih/­akurat dan valid-hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggung­jawabkan menurut parameter-sanad dan rijal al-hadis- dalam disiplin `Ulumul Hadis. Itulah sebabnya, pada waktu yang ber­samaan tafsir bi al-ma'sur sedang menghadapi masalah serius, karena telah terjadi pembauran berbagai riwayat. Di samping itu, orientasi kajian tafsir yang tidak mono material, tetapi telah berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain seperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan filsafat. Pengaruh unsur-unsur di luar Islam turut mewarnai corak penafsiran, termasuk Israiliyyat.

Al-Tabari ada pada saat hilangnya salah satu aliran, rasional keagamaan Mu'tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran tradisional Asy'ariyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi sekte-sekte yang lain turut menyemarakkan bursa pemikiran di panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di negeri sendiri, menggugah sensitivitas keilmu­annya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melaku­kan respons dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja per­gulatan mazhab yang dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri sendiri dan kota-kota sekitarnya tidak terbantahkan, sampai-sampai pada hal mazhab yang di­ikutinya.

Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas sebagai seorang Sunni ketimbang seorang Rafidi-ektremis Ali­ yang pernah hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi.[24] Bukti bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsir. Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Tabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para murid-muridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 290 H.

Kitab tafsir karya al-Tabari, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami' aI-Bayan An Ta'wil Ay al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami' al-Bayan f i Tafsir al- Qur'an (Beirut: Dar al­Kutub al-`Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Tabari mencoba mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holistik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur'an yang pada umumnya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat dan atau surat, tema (ma'udu ), asbab al­-nuzul dan sebagainya.

Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas keberadaannya; ternyata tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang tersimpan di maktabah (koleksi pustaka pribadi) seorang Amir (pejabat) Najed, Hammad ibn `Amir `Abd a1­-Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut dike­temukan lantaran terjadi kebangkitan kembali percetakan pada awal abad 20-an. Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah (resume) dari kitab orisinalnya.

2. Karakteristik Penafsiran
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laiwn (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al Thabary, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqh. Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik (lugah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al­ ta-bi'in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-Ma'sur Semua itu diharapkan menjadi detector bagi ketepatan pemaha­mannya mengenai suatu kata atau kalimat.[25] la juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i'rab-nya. [26]

Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pe­maparan qira ah secara variatif, dan dianalisis dengan cara di­hubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian men­jatuhkan pilihan pada satu qira'ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.

Di sisi yang lain, al-Tabari sebagai seorang ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur'an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbul­kan perpecahan. Secara tidak langsung, ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat di tengah­tengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi generasi berikutnya.

Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah dan eskatologis, mau tak mau, ia terlibat dalam diskusi cukup intens. Dalam beberapa hal, sikap fanatisnya tampak cukup kentara, ketika ia harus membela ahl al-Sunnah wa al Jama’ah, pada saat berhadapan dengan beberapa pandangan kaum Mu'tazilah dalam doktrin-doktrin tertentu. Bahkan, ia terkesan menyerang gigih penafsiran metaforis dan ajaran-ajaran dogmatis mereka, meskipun ia telah berusaha untuk mengambil posisi yang moderat.

3. Metode penafsiran
Menurut H. Abdul Djalal, metode muqaran (komparatif) digunakan daam tafsir ini. Karena di dalamnya memuat pendapat-pendapat para ulama dan membanding pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain.[27] Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur, yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat.[28] Dalam periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuh lafaz, ia juga menggunakan ra'yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan, adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi kete­patan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak mau-ia harus meng­gunakan logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma'sur dan bi ar-ra'yi yang merupakan sebuah terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.

Riwayat-riwayat yang kontroversial (muta'aridah), ia jelas­kan dengan memberikan penekanan-penekanan-setuju atau tidak setuju (sanggahan)-dengan mengajukan alternatif pan­dangannya sendiri disertai argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, taabi'in dan ta-bi' aI-tabi'in, kemudian mengambil istinbat.
Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat).

Al-Tabari mengambil riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah muslim, seperti; Ka'ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, Abdullah Ibn Salam dan Ibn Juraij, dengan persepsi yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbul­kan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen. Ada dua pernyataan mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua, pentingnya pengalaman-peng­alaman dari umat dan konsistensi pengalaman sepanjang zaman. Dari penjelasan di atas, Dalam menafsirkan, al-Tabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:[29]

Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan: "Pendapat tentang takwil firman Allah" begini.[30]
Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi'in.

Menyimpulkan pendapat umum dari nash al-Qur'an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dart Rasulullah saw., sa­habat dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.

Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menye­butkan alasan-alasannya.
Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
Melanjutkannya dengan menjelaskan qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan qira'at yang kuat dan mengingatkan akan qira'at yang tidak benar.

Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan meng­ukuhkan makna nash.
Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk men­jelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.

Memaparkan pendapat-pendapat Fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum, mendiskusikannya dan menguatkan penda­pat yang menurutnya benar.
Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.

Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma' umat ketika memilih suatu pendapat.
Sebagai orang yang berpegang pada tafsir bil ma’sur, konsekuensinya tafsir Ibnu Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut :[31]

a. Mengikuti jalan sanad dalam silsilah riwayat.
b. Menjauhi tafsir bil ra’yi.
c. Apik dalam menyampaikan sanad.
d. Berpegang pada ilmu bahasa.
e. Banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabawiyyah.
f. Memperkuat dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat.
g. Perbendaharaan qira’at.
h. Mengkomprontirkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan fiqhiyyah.
i. Menghimpun dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat.

Inilah karakteristik utama metode tafsir Ibn Jarir. Namun demikian, ada sejumlah kritikan, antara lain:
la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan peneli­tian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa menge­tahui yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang me­nyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya.
Umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya, meski kadang-kadang la memposisi­kan diri sebagai seorang kritikus yang cermat.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Kemasyhuran tafsir ini telah mendunia. Ia telah dicetak berkali-kali, terdiri dari tiga puluh jilid besar. Ibnu Jarir menulisnya di akhir usianya, setelah memiliki kematangan ilmu, budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ia layak mendapat julukan Syaikhul Mufassirin. Tafsirnya ini telah menjadi induk kitab-kitab tafsir.

4. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Tabari mengikuti tartib Mushafi. Dalam sistematika ini, sang mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah (tahlily) di dalam mushaf (`Usmani). Sekalipun demikian, pada beberapa bagian tertentu, ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan mem­berikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya. Namun, secara umum la tidak keluar dari sis­tematika mushaf Usmani.­

Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan dasar riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya hingga sampai Nabi Saw. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk linguistik. Atas dasar pemaparan terdahulu, ia merespons secara positif dan mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat. Demi­kian hingga penafsiran ayat terakhir dari al-Qur'an 30 juz.

5. Contoh-contoh Penafsirannya
Al-Zahabi[32] memberikan contoh-contoh metode penafsiran yang ditempuh oleh Ibnu Jarir setelah ia menganalisa karakteristik metode Ibnu Jarir dalam menafsirkan, di antaranya sebagai berikut :
Salah satu contoh pengingkarannya terhadap yang menafsirkan al-Qur’an hanya berpegang pada ra’yu adalah sebagaimana dalam membantah orang yang menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 65. Ia menolak penafsiran Mujahid yang hanya memakai ra’yu dalam menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang berubah jadi kera itu hatinya bukan jasadnya.[33]

Contoh lain bahwa Ibnu Jarir berpaling dari penafsiran yang menurutnya tidak berfaedah, seperti tafsir Q.S. al-Maidah ayat 112, 113 dan 114 tentang jenis makanan yang dipinta oleh Hawayiyyun, baginya tidak perlu mencari-cari jenis makanan apa yang dipinta, apakah ikan, roti, atau buah-buahan dari surga atau yang lainnya karena tidak mengetahuinya tidak akan memadharatkan.[34]
Di bawah ini salah satu model teks penafsiran Q.S. An Nisa ayat 34.[35]

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)


القول في تأويل قوله : الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
قال أبو جعفر: يعني بقوله جل ثناؤه: (1) "الرجال قوّامون على النساء"، الرجال أهل قيام على نسائهم، في تأديبهن والأخذ على أيديهن فيما يجب عليهن لله ولأنفسهم ="بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يعني: بما فضّل الله به الرجال على أزواجهم: من سَوْقهم إليهنّ مهورهن، وإنفاقهم عليهنّ أموالهم، وكفايتهم إياهن مُؤَنهنّ. وذلك تفضيل الله تبارك وتعالى إياهم عليهنّ، ولذلك صارُوا قوّامًا عليهن، نافذي الأمر عليهن فيما جعل الله إليهم من أمورهن.
وبما قلنا في ذلك قال أهل التأويل.
*ذكر من قال ذلك:
9300 - حدثني المثنى قال، حدثنا عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله:"الرجال قوّامون على النساء"، يعني: أمرَاء، عليها أن تطيعه فيما أمرَها الله به من طاعته، وطاعته: أن تكون محسنةً إلى أهله، حافظةً لماله. وفضَّله عليها بنفقته وسعيه.
9301 - حدثني المثنى قال، حدثنا إسحاق قال، حدثنا أبو زهير، عن جويبر، عن الضحاك في قوله:"الرجال قوّامون على النساء بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يقول: الرجل قائمٌ على المرأة، يأمرها بطاعة الله، فَإن أبت فله أن يضربها ضربًا غير مبرِّح، وله عليها الفضل بنفقته وسعيه.
9302 - حدثنا محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا
__________
(1) في المطبوعة والمخطوطة: "يعني بذلك جل ثناؤه" ، والسياق يقتضي ما أثبت.


أسباط، عن السدي:"الرجال قوامون على النساء"، قال: يأخذون على أيديهن ويُؤدّبونهن. (1)
9303 - حدثني المثنى قال، حدثنا حبان بن موسى قال، أخبرنا ابن المبارك قال، سمعت سفيان يقول:"بما فضل الله بعضهم على بعض"، قال: بتفضيل الله الرجال على النساء.
وذُكر أنّ هذه الآية نزلت في رجل لطم امرأته، فخوصم إلى النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك، فقضَى لها بالقصاص.
ذكر الخبر بذلك:
9304 - حدثنا محمد بن بشار قال، حدثنا عبد الأعلى قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قال، حدثنا الحسن: أنّ رجلا لطمَ امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، فأراد أن يُقِصّها منه، فأنزل الله:"الرجالُ قوّامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم"، فدعاه النبيّ صلى الله عليه وسلم فتلاها عليه، وقال: أردتُ أمرًا وأراد الله غيرَه.
9305 - حدثنا بشر بن معاذ قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قوله:"الرجال قوامون على النساء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم"، ذكر لنا أن رجلا لطم امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، ثم ذكر نحوه.
9306 - حدثنا الحسن بن يحيى قال، أخبرنا عبد الرزاق قال، أخبرنا معمر، عن قتادة في قوله:"الرّجال قوّامون على النساء"، قال: صك رجل امرأته، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم، فأراد أن يُقِيدَها منه، فأنزل الله:"الرجال قوامون على النساء".
__________
(1) في المطبوعة والمخطوطة: "ويؤدبوهن" ، وهو سهو من الناسخ ، وفي هامش المخطوطة حرف"ط" دلالة على الخطأ ، أو كأنه كان هكذا في الأصل الذي نقله عنه ، خطأ أيضًا.


9307 - حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا أبي، عن جرير بن حازم، عن الحسن: أنّ رجلا من الأنصار لطم امرأته، فجاءت تلتمس القصاص، فجعل النبي صلى الله عليه وسلم بينهما القصاص، فنزلت:( وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ ) [سورة طه: 114]، ونزلت:"الرجال قوّامون على النساء بما فضّل الله بعضَهم على بعض". (1)
9308 - حدثنا القاسم قال، حدثنا الحسين قال، حدثني حجاج، عن ابن جريج قال: لطم رجلٌ امرأته، فأراد النبيّ صلى الله عليه وسلم القصاص. فبيناهم كذلك، نزلت الآية.
9309 - حدثنا محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن مفضل قال، حدثنا أسباط، عن السدي: أما"الرجال قوامون على النساء"، فإن رجلا من الأنصار كان بينه وبين امرأته كلامٌ فلطمها، فانطلق أهلها، فذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم، فأخبرهم:"الرجال قوامون على النساء" الآية

Tentu saja contoh-contoh di atas belum di rasa represen­tatif untuk mewakili kandungan tafsir, tetapi paling tidak deskripsi tentang tafsir itu terlihat secara jelas dan gamblang, betapa kon­sistensi al-Tabari dalam mengaplikasikan metodologinya yang ditopang oleh kekuatan data dan akurasinya, tanpa menutup mata masih terdapat kelemahan-kelemahan yang ada.

D. Berbagai komentar terhadap tafsir al-Tabari
Kitabnya, Jami' al Bayan Fi Tafsir …, dinilai sebagai li­teratur penting dalam bidang tafrir bil ma’sur, bahkan dalam bidang tafsir bil ra'yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah­-wajah I’rab. karena itu, kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat sahabat dan tabi'in. Para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di bidang tafsir.[36]

AI-Nawawi berkata, belum ada yang karya yang ditulis oleh orang yang semisal dengan hitab tafsir Ibn Jarir.[37]

Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Bila seseorang melakukan perjalanan ke Cina untuk mendapatkan kitab Tafsir Ibn Jarir, maka perjalanan itu belum seberapa.[38]

Majlis Fatwa Riyadh, ketika ditanya kitab apa yang paling penting dan paling kompeten baik jaman sekarang maupun masa yang lalu? Jawabannya adalah Tafsir al-Tabary.[39]

Mengenai metodenya, kitab ini dianggap sebagai dasar bagi semua jenis tafsir karena adanya metode khas yang memadukan antara tafsir bil ma’sur dengan tafsir bil ra’yi disertai dengan pemilihan pendapat yang terkuat. Imam al-Syuyuthi berkata: "hitab Ibn Jarir adalah kitab tafsir paling agung. Kitab itu memaparkan pemilihan berbagai pendapat, I’rab dan istinbath (pengambilan huhum). Dengan karakteristik itulah kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik."[40]

Al-Imam Ibn Taimiyyah berkata, adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir al-Thabari. Kitab ini menuturukan pendapat-­pendapat kaum Salaf dengan sanad-sanadnya, tidak memuat bid'ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta.[41]
Dalam suatu kesempatan Muhammad Abduh mengomentari tafsir al-Tabari demikian:

Kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan …. [42]

Menurut Dr. Fahd bin Abdurrahman ar Rumi,[43] keistimewaan tafsir Thabari adalah sebagai berikut:
Al-Tabari berpegang kepada tafsir bil-ma'tsur dari Rasulullah, para shahabat dan tabi'in;
8erpegang teguh pada periwayatan yang bersanad;
Peran Thabari dalam mengarahkan perkataan-perkataan dan tarjih;
Penyebutan terhadap bentuk-bentuk i'rab.
Ketelitiannya dalam mengistimbatkan (penggalian) hukum syari'ah dari ayat-ayat al-Qur'an.
Demikianlah sebagian dari komentar-komentar yang bernada pujian terhadap tafsir al-Tabary bahan sekaliber Ignaz Goldziher memaparkan secara obyektif beberapa pujian dari sarjana Barat dan Timur[44] sehingga pantas dan wajar kalau Ahmad Syakir menilai dan menjuluki Ibn Jarir dengan Imam al Mufassirin[45] dan Imam an Nawawy menyebutnya “Penghimpun dua lautan dan tempat terbit dua bulan purnama (بمجمع البحرين ومطلع البدرين)”[46]


E. Kesimpulan
Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.

Penerapan metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.Itulah sebabnya Tafsir ini memili karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Tabari tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten dengan bidang sejarah yang ia kuasai.

[1] Dalam Rosihon Anwar, Samudra Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 173.
[2]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir :Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), 15.
[3] Dalam Sri Mulyati, Pengantar Kajian al-Qur’an (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), 102.
[4] Beberapa kitab yang memuat biografi Ibnu Jarir sebagaimana disebutkan oleh Al Hafiz Syamsuddin al Dawudy dalam kitabnya Thabaqah al Mufassirin juz 2 hlm. 110 di antaranya disebutkan dalam kitab : al bidayah wa al nihayah karya Ibnu Katsir II/145, Tarikh Baghdad karya al Khatib al-baghdady 2/162, Tadzkirah al Hufaz az Zahaby 2/710, Tahzib al asma wa al lughah karya Al Nawawy 1/78, Raudhatul Jannat 163, Thabaqat al Syafi’iyah karya Al Subky 3/120, Thabaqat al Syirazy 76, dll.
[5] Muhammad Bakar Ismail, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu f`i al-Tafsir (Kairo: Dar al-Manar,1991), h. 9-10 dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 20.
[6] Ibid.
[7] Sebuah kota di Iran, 12 km, ada yang menyebutkan 20 km, sebelah Selatan Laut Kaspia. Daerah yang penduduknya suka konflik (berperang), dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar (kapak), sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih dikenal dengan sebutan al-Tabari, yang diambilkan dari nama "kul­tural"-nya.
 [8] Yaqut al-Hamawi, Mu jam al-Udaba', xviii, dikutip melalui Rasul Ja'farian dalam jurnal al-Hikmah, Syawwal Dzulhijjah 1413/April-Juni 1993 dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 21.
[9] Ibnu Qadhy Syuhbah, Thabaqat al Syafi’iyyah, juz I: 8 (CD Mausu’ah/ www.alwarraq.com)
[10] Lihat Muqaddimah al-Tabary, 4.
[11]Ahmad Ibn Kamil al Syajary mengatakan bahwasanya ia telah bertanya kepada Ibnu Jarir, “mengapa terjadi keraguan dalam kelahirannya?, Ia menjawab: Karena para ahli sejarah di negeri kami berbeda dalam menentukan tahun ke­lahiranoleh karena ada perbedaan sisbem penanggalan yang berlaku pada saat itu, bersifat tradisional dengan bersandar pada aksiden-aksiden penting bukan dengan angka, ..
[12] Menurut catatan Muhammad Aly al-Sabuny dalam Pengantar Study al-Qur'an, terj. Chudlori Umar dan Mob. Matsna HS. (Bandung: al-Ma'arif, 1984), h. 257. Selengkapnya lihat Franz Rosenthal. The History of al-Tabari, vol. I. (New York: State University of New York Press, 1989), h.178.


[13] Yunus Hasan Abidu, Dirasat wa mabahits fi tarikh al tafsir wa manahij al mufassirin; terj. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan metode para mufassir (Jakarta: Gaya Media, 2007), 68.
[14] Subhi al-Salih, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-'Ilm), cet. VII, 1972), 290.
[15] Dua orang terakhir ini adalah guru dalam bidang fiqh, lihat Ibnu Qadhy Syuhbah, Ibid., 9.
[16] Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur an, Tahqiq Muham­mad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/ 1957M), II:159.
[17] Ibnu Qadhy Syuhbah, Ibid., 9.
[18] Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, 7
[19] Menurut perhitungan Ibnu Qadhy Syuhbah, ia berusia 86 tahun, Ibid.
[20] Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, Ibid.
[21] Ibid.
[22] Shidqy al Athar, Muqaddimah Tafsir Al Tabary (Beirut: Darul Fikr, 1995), 11.
[23] Sebagian sumber menyebutnya dengan Jami' al-Bayan fi Ta'wil Ay al­Qur an, dan tafsir ini sering hanya disebut Jami' al-Bayan , Tafsir Ibn Jarir dan lebih populer disebut Tafsir al-Tabari

[24] Ia sempat dituding tasyayyu karena ia menshahihkan hadis ghadir khum. (Lisan al Mizan, juz 2:358).
[25]Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Mansyurat al­ Ashr al-Hadits, 1393H/1973M), 363.
[26] M. Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, h. 5. Kapasitas al­-Tabari sebagai seorang ahli qira’at yang berguru kepada Qalun disamping Mujahid dimunculkan secara konsisten dalam tafsirnya.
[27] H. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 31.
[28] Shidqy al ‘Athar, Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir (Beirut: Darul Fikr, 1995), 3.
[29] Lihat Yunus Hasan Abidu, Ibid’, 72.
[30] Bagi al-Tabari, antara tafsir dan takwil keduanya tidak berbeda, meski mufasir sesudahnya menganggap ada perbedaannya. Lihat Muqaddimah Tafsir hal 10, cetakan Darul Fikr. Bagi Nasr Hamid Abu Zaid, "Tafsir" merupakan bagian dari proses 'takwil', hubungan keduanya adalah hubungan antara yang khass dan yang 'am. Lihat Tekstualitas al-Qur'an, Kritik terhadap 'Ulumul Qur'an terj. Khoirun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), 318.

[31] Tafsir Ibnu Jarir, 11.
[32] Muhammad Husein Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976), Jilid I, 210-224.

[33] Lihat Tafsir Ibnu Jarir, juz I hal. 252-253.
[34] Ibid., juz VII hal. 88.
[35] Ibid., juz VIII hal. 290 (Cd Mausu’ah)
[36] Yunus Hasan, Ibid., 69.
[37] Dalam al-Itqan fi ulumil Qur’an, juz I, 455.
[38] Muqaddimah tafsir Ibn Jarir, ibid., 7.
[39] Ahmad Ibn Abdurrajaq, Fatwa lajnah al daimah li al buhuts …. (Riyadh: Risalah idarah al buhust al ilmiyyah, 1996.
[40] Al Suyuthy, Al Itqan …, 454.
[41] Dalam Yunus Hasan, Ibid., 70.
[42] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an dalam Muhammad Yusuf, StudiKitab Tafsir…, 40. Muhammad Yusuf, S.r'adny..ajar kalau Ahmad Syakir menilai dan menjuluki Ibn Jarir dengan Imam al Mufassirin_______________
[43] Fahd bin Abdurrahman ar Rumi, Dirasat fi ulumil qur’an; terj. Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas al-Qur’an, 204.
[44] Lihat Goldziher, Mazhab Tafsi; terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), cet. III, 112-126.
[45] Muqaddiah tafsir al Tabary, 5.
[46] Al Suyuthy, al-Itqan….,, juz I, 455.

1 comments:

terima kasih sja...ini sangat membantu untuk materi kuliah saya......

Post a Comment