Search

Pergeseran Epistemologi Tafsir


Judul Buku : Pergeseran Epistemologi Tafsir
Penulis : Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Penyunting : Saefuddin Zuhry Qudsy
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Maret 2008
Tebal Buku : xiii + 183


Buku ini ditulis oleh orang yang ahli dibidangnya, yaitu Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag., direktur Lingkas Studi al-Qur’an Yogyakarta. Gelar doktor ia raih di PPs IAIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi Tafsir. Oleh karena, itu ia sangat getol menggeluti berbagai macam yang berhubungan dengan tafsir di antaranya buku Studi Al-Qur’an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir, Aliran-Aliran Tafsir: Madzahibut Tafsir Periode Klasik Hingga Kontemporer, dan lain-lain.

Penulis buku dengan keuletan dalam penelitiannya mencoba mengeksplorasi tentang pentingnya perubahan dan pergeseran epistemologi dalam tafsir. Sebab tanpa keberanian mengubah paradigma dan epistem, kajian tafsir tidak akan berkembang dengan baik.

Pada bagian pertama, penulis memaparkan hakikat dan orientasi penafsiran al-Qur’an. Ada berbagai macam paradigma untuk menemukan hakikat tafsir, yaitu paradigma teknis, paradigma fungsional dan paradigma akomodatif. Penulis menegaskan tesis bahwa hakikat tafsir bisa dilihat dari dua paradigma, yaitu tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Tafsir sebagai proses dan produk meniscayakan adanya dialektika antara wahyu, akal dan realitas (konteks). Tafsir sebenarnya merupakan hasil interaksi antara teks yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas, melalui peranan akal penafsir sesuai dengan kadar kemampuannya.

Pada bagian kedua, berdasarkan kerangka teori the history of idea of Qur’anic interpretation yang diramu dari teori Ignaz Golziher, Jurgen Habermas dan Kuntowijoyo, penulis menyimpulkan bahwa dalam sejarah penafsiran al-Qur’an telah terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift) epistemologi.
Dalam bagian ini, penulis memaparkan tiga era penafsiran al-Qur’an yaitu era formatif, era afirmatif dan era reformatif.

Era formatif berbasis pada nalar-nalar mitis, yang terjadi pada era klasik dimana penafsiran al-Qur’an lebih banyak didominasi oleh model tafsir bil ma’tsur (riwayat) yang kental dengan nalar bayani. Nalar mitis dalam konteks ini adalah sebuah cara berpikir yang kurang mengedepankan kritisisme ketika menerima sebuah produk penafsiran. Perkataan Nabi, perkataan sahabat dan tabi’in seolah jadi mitos bagi sumber penafsiran. Penulis buku tafsir hanyalah berperan sebagai kolektor bagi perkataan dan perbuatan Nabi dan sahabatnya tanpa adanya nalar kritis. Dalam periode ini produk tafsir bertindak sebagai ”panglima” dan ”hakim” terhadap realitas.

Era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis yang terjadi pada Abad Pertengahan. Era ini awalnya memang berangkat dari ketidakpuasan terhadap model tafsir bil ma’tsur yang dipandang kurang ’memadai’ dan tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an. Hal itu kemudian memunculkan tradisi tafsir bir ra’yi (dengan rasio atau akal). Namun, tradisi penafsiran tersebut kemudian banyak didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi (madzhab, politik penguasa atau keilmuan tertentu). Akibatnya, muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan sektarianisme madzhab yang berlebihan yang cenderung bersikap truth claim di satu sisi, dan saling mengkafirkan di sisi lain.

Tafsir era reformatif dengan nalar kritis. Ada empat sub bahasan yang menjadi sentral pembahasan penulis dalam bagian ini, yaitu Asumsi dan Paradigma, Karakteristik Tafsir Era Reformatif, Sumber, Metode dan Validitas Penafsiran. Pada awal pembahasan penulis memaparkan bahwa Era reformatif dimulai dengan munculnya era modern di mana tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhimul Qur’an, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dengan al-Manar-nya terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran para ulama dulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu kemudian dilanjutkan oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, Hasan Hanafi san sebagainya. Produk penafsiran masa lalu yang selama ini dikonsumsi umat Islam mulai dikritisi dengan nalar kritis, yang mereka cenderung melepaskan diri dari model-model berpikir madzhabi. Bahkan sebagian mereka juga memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Mereka kemudian membangun sebuah epistemologi tafsir yang dipandang mampu merespons perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, untuk kepentingan transformasi umat. Di era reformatif yang berbasis pada nalar kritis, posisi al-Qur’an (text), realitas (kontext) dan penafsir (reader) berjalan sirkular secara triadik dan dinamis. Pendekatan Hermeneutik akhirnya menjadi tren tersendiri.

Selanjutnya, pada bagian ketiga, untuk mempermudah pemahaman pembaca dalam buku ini penulis memberikan contoh model penfsiran mitis, ideologi dan kritis. Di buku ini diterangkan contoh penfsiran mitos tentang menstruasi, penafsiran tentang ar-Ra’d (guruh) dan tafsir cerita mitis tentang Harut dan Marut. Bagaimana Konsep Wahdatul Wujud, konsep Hulul dalam Tasawwuf dll. dengan model penafsiran nalar ideologi serta Konsep Nusyuz dengan penafsiran model nalar kritis akan ditemukan oleh pembaca dalam buku ini.

Demikian buku ini ditulis dengan nalar kritis dan sistematik, juga dilengkapi indeks. Sesuai dengan judul, dalam buku ini penulis mencoba menawarkan model baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan demikian, para pembaca akan mendapatkan tidak sekedar model periodisasi baru dalam corak penafsiran tetapi akan lebih banyak dan bertambah wawasan dengan membaca buku ini. Namun, bagi pembaca yang mempunyai nalar kritis akan menemukan dalam buku ini kesan dikhotonomi dan cenderung mengesampingkan turats produk tafsir klasik sehingga mengundang perdebatan di dalamnya. Apakah anda termasuk orang yang suka membaca dan mempunyai nalar kritis? Buku ini adalah bacaan anda selanjutnya.

0 comments:

Post a Comment