Search

Pendidikan Agama di Sekolah

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa salah satu tujuan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Target ideal yang bernama pencerdasan tersebut merupakan bentuk idealisasi di dalam pengembangan peradaban dan kemajuan bangsa. Hal ini sangat jelas, terbingkai di dalam tujuan esensial yang ingin dicapai, yaitu menciptakan manusia seutuhnya, yang ciri utamanya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang beriman dan bertakwa merupakan kualitas keseimbangan yang menjadi substansi dari pengembangan pendidikan. Dengan begitu, proses pendidikan yang dilakukan–dalam konteks ini–dapat menjadi medium konkrit di dalam membentuk pribadi utuh yang mempunyai kualitas iman dan ketakwaan yang dinamis.


Di sinilah insan kamil, menurut Syamsul Arifin, akan menjadi idiom baru bagi terciptanya masyarakat beradab sebagai tonggak di dalam mewujudkan cita-cita umum masyarakat madani (civil society). Sebab, akar fundamental dari masyarakat madani pada hakikatnya bertumpu pada kesadaran elemen di dalamnya; untuk dan demi cita-cita besar menjadi bangsa terdidik dan menjunjung tinggi semangat keadaban, yang pada gilirannya akan mampu memunculkan satu prinsip terciptanya masyarakat berperadaban dengan memegang setinggi-tingginya nilai luhur kemanusiaan.

Nilai-nilai luhur itu mesti dibina dan dijaga serta dijalankan secara konsisten. Pengejawantahan nilai-nilai luhur tersebut terwujud dalam pendidikan agama yang diyakini akan mewujudkan cita-cita pembangunan yaitu pembangunan manusia seutuhnya. Manusia yang seimbang antara asupan jasmani dan asupan rohani. Oleh sebab itu, diperlukan acuan yuridis-formal dalam pengaturan pelaksanaannya.

Acuan yuridis-formal yang dimiliki tentang konsistensi dalam upaya pemaknaan dan pemberdayaan pendidikan juga di atur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan tegas memberikan tempat yang sangat terhormat terhadap pendidikan agama. Dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi wajib memuat pendidikan agama.

Dalam penjabaran pasal 37 di atas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 yang begitu ideal dan penuh harapan dari pendidikan agama ini. Betapa tidak, dalam pasal 5 dari ayat 3 s.d. 7 disebutkan bahwa: (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain; (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.

Idealisme yang tersirat maupun yang tersurat dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut telah menempatkan pendidikan (agama) sebagai salah satu piranti dan kekuatan utama di dalam proses pembentukan manusia seutuhnya; manusia yang selain memiliki kecerdasan intelektual, juga adab (moral, etika) yang kaffah serta sepiritual yang tinggi.

Sejauhmana idealisme itu dapat diwujudkan? dan sejauhmana pelaksanaan UU dan Peraturan itu dilaksanakan oleh dan terutama pembuatnya. Hal ini menuntut keseriusan dari berbagai pihak dalam mengimplementasikannya. Karena dengan upaya implementasi yang serius lambat laun cita-cita besar dari pendidikan agama itu akan terwujud dengan sendirinya. Hal ini menuntut keseriusan dan daya dobrak yang tinggi mulai dari pemerhati sampai pelaksana lapangan pendidikan Islam. Karena dengan UU dan Peraturan tersebut jika hasilnya tidak signifikan bahkan bangsa ini semakin bobrok dan tidak bermoral, ujung-ujungnya yang disalahkan adalah pendidikan agama terutama pendidikan agama Islam yang dicap tidak berhasil memberikan bekas pada moral bangsa ini.

Oleh karenanya, menurut Syamsul Arifin, pendidikan (Islam) pada gilirannya akan terasumsi tidak mampu lagi menjadi jembatan untuk mewujudkan keutuhan pribadi sekaligus memberikan jalan lempang bagi pembebasan diri dari belenggu nafsu hewaniyahnya. Artinya, pendidikan Agama (Islam) mengalami kegagalan di dalam penguatan nilai-nilai moral kemanusiaan. Akibatnya, keadaban (civility) dan kesadaran kreatif yang notabene merupakan ciri sejati dari civilize society yang secara substansial harus dibentuk melalui kekuatan pendidikan hanya menjadi mimpi yang kerontang. Pendidikan Agama kemudian bisa terpersepsi sebagai term mandul dan tidak kuasa dalam mengubah sikap eksklusif ke arah sikap baru yang inklusif.

Selanjutnya, keadaan seperti itu melenggangkan jalan bagi kaum sekuler untuk menolak Pendidikan Agama di sekolah-sekolah. Oleh sebab itu, perhatian yang mendalam dari berbagai pihak yang setuju akan pentingnya pendidikan agama harus benar-benar serius dalam mengawal pelaksanaan UU dan Peraturan tersebut demi terwujudnya tujuan pendidikan Islam yang akhirnya mengarah pada tujuan Islam sendiri yaitu rahmatan lil ’alamin. Di sisi lain, pelaksanaan dan penerapan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum masih kurang perhatian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebagai kasus di daerah yang notabene 95% muslim tetapi hampir lima puluh persen di sekolah-sekolah terutama sekolah dasar tidak ada guru agama yang secara khusus dan berkopetensi mengampu siswa-siswa tersebut, guru agama kadang dirangkap oleh guru olah raga atau guru lainnya. Pada kasus yang lain, di suatu sekolah terdapat guru agama yang diangkat langsung oleh

Pemerintah tetapi ia secara kompetensi belum memenuhi standar yang diharapkan, terutama faktor teladan. Jadi sekolah-sekolah umum, di samping jam pendidikan agama dirasa masih kurang, faktor lainnya adalah kurangnya pengawasan dari pihak terkait mengenai pelaksanaan di lapangan sehingga dekadensi moral semakin tidak terbendung.

Disinilah, letak dan peranan penting lembaga dan organisasi pendidikan Islam dan pendidik Islam dalam memajukan dan memacu implementasi cita-cita ideal dari pendidikan bangsa khususnya pendidikan agama Islam demi perkembangan kehidupan serta mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan seimbang duniawi dan ukhrawi. Jika tidak, maka tamatlah pendidikan agama di sekolah-sekolah dan hancurlah bangsa ini. Wallahu A’lam

0 comments:

Post a Comment