Search

Urgensi Pendidikan Islam di Rumah dan di Sekolah

Menurut Ramayulis (Metodologi Pendidikan Agama Islam, hlm. 49) dalam literatur kependidikan Islam, pendidik biasa disebut sebagai berikut : 1). Ustadz, yaitu seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesinya, ia selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara-cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zaman; 2); Mu’allim, berasal dari kata dasar Ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Ini mengandung makna bahwa guru adalah orang yang dituntut untuk menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang diajarkannya. 3); Murabby, berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan sebagai Rabb al-’alamin dan Rabb al-Nas yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia.

Dilihat dari pengertian ini maka guru adalah orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. 4); Mursyid, yaitu seorang guru yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan atau kepribadian kepada peserta didiknya; 5). Mudarris, berasal dari kata darrasa yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih dan mempelajari. Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya; 6). Muaddib berasal dari kata Adab, yang berarti moral, etika dan adab. Artinya guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa depan.

Dari keenam sebutan untuk pendidik, Al-Attas, seorang ahli pendidikan dari Malaysia memilih Ta’dib atau Muaddib sebagai kata yang tepat untuk makna pendidikan (pendidik) karena Ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain dari itu, kata ta’dib erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam sisi pendidikan. (dalam Hasan Langgulung, hlm. 4).

Islam dengan dasar-dasarnya yang universal dan aturan-aturannya yang abadi mendorong orang tua, sebagai pendidik pertama untuk senantiasa mengutamakan perhatian terhadap anak-anak mereka dan mengawasinya dalam segala aspek kehidupan. Allah swt. berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Al Tahrim (66):6).

Bagaimana seorang pendidik menjaga keluarga dan muridnya dari api neraka jika mereka tidak pernah memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, tidak mengajarkan adab, sopan santun, dan mereka tidak melarang anak-anaknya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma yang ada?!

Ali R.A. dalam mengomentari surah Al Tahrim: 6 mengemukakan : ”Ajarilah mereka dan didiklah mereka”. (Al Faqih wa Al Muttafaqihu karya Al Khatib Al Bagdady, juz 1, hlm. 191). Ibnu Umar pernah berkata kepada seseorang : ”Perbaguslah pendidikan anakmu, karena engkau akan dipinta pertanggungjawaban tentang pendidikan dan pengajarannya ... (Al Tafaqquh ala Al’Iyal, juz 1, hlm. 344).

Abu Lubabah Husein dalam bukunya “Al Tarbiyah fi Al Sunnah Al Nabawiyyah” dalam bab “min aena tabda’u al tarbiyyah al muhammadiyah” mengemukakan bahwa pendidikan dimulai sejak anak pertama kali dapat membuka matanya dalam buaian ibunya. Oleh sebab itu, keluarga merupakan madrasah utama dan terutama yang diperhatikan oleh Islam dalam hal pendidikan. (Al Tarbiyah, hlm. 28).
Pendidikan merupakan sebaik-baik pemberian orang tua terhadap anaknya, selain hadis sebagaimana dalam judul pembahasan, terdapat sejumlah hadis yang menguatkan makna dan kedudukan hadis di atas, diantaranya hadis:

1. Dalam Sunan Ibn Majah no. 3661 tercatat Rasulullah saw. bersabda:

أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ 

“Hormatilah anak-anakmu dan baguskanlah adab (pendidikan) mereka”.

2. Dalam Al Mu’jam Al Ausath ada hadis sebagai berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَا وَِرثَ وَالِدٌ وَلَدًا خَيْرًا مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ »

”Tidak ada peninggalan orang tua yang lebih baik bagi anaknya kecuali pendidikan yang baik”. (Thabrany, juz 8, hlm. 335).

Alangkah pentingnya pendidikan terutama pendidikan sopan santun sehingga Abu Zakaria Al ’Anbary mengemukakan: ”Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, Adab tanpa ilmu bagaikan ruh tanpa jasad...(Al Khatib Al Bagdady, juz 1, hlm. 13).

Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt., "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak. Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah. (Al-Ghazali, "Pilar-pilar Ruhani", hlm. 17-20).

Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; (2) tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah; (3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. ( Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 34).

Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyya; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.

Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu: 1). Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya. 2). Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitabullah. Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah).

Ilmu yang wajib yang harus diajarkan sejak dini menurut Al Ghazali, di antaranya : 1). shalat, puasa, zakat dan haji; 2). Aqidah; dan 3). Akhlak, ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan derajat hidup manusia. (Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, hlm. 20).

Pandangan Imam Ghazali di atas sejalan dengan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. kepada para orang tua, pendidik supaya mereka menyuruh dan mengajari shalat kepada anaknya sejak usia dini karena shalat merupakan ajaran pokok bagi umat Islam. Dari sini, shalat menjadi pemicu indikator bagi beresnya amal mereka.

0 comments:

Post a Comment